Friday 29 April 2011

RELIEF JEPANG DI PELABUHAN IPI ENDE




DI CARI PEMBELI TOKEK PANJANG 30 - 37 cm , SAMURAI , MEJA GIOK .HUB : CAK NARTO +6282147609876 / +6285253231925 , ASBEL BOLA 081331051363 , HASANUDIN CIKEAS 082146511702 , SHEIK AZEEZ BIN BRUNEI DARUSALAM +6282145726372 , HAJI SANTOSO 082266262820 , JERY 08123601083 , BAYU 082146633666 , HANDO 085737538835 , NUEL 081339001754 / 085239181215 , YENI MANOE 085253728575 , SITRI 081246142938 , MEDI 085237468926 , NIRON 082146086144 , MARIANUS 081331484671 , BANG EDY 081338463444 / 081246224442 , PAMBO TENTENA 081246133289 , ABAH 085287645333 , ABAH HEN 082145095388 , UDIN 082147779723 , SOEMANTRI 085239396767 , DARSONO 085253740541 , ALEX 081236888897 , SURA 082139471117 , ABAH 082146512474 , RUSLAN 082146089243 , ALAN 082147055770 , BONI 085239180450 / 081353455353 , CHRISTO 081339462526 , FENDI 085333610079 , WELKIS SEME 085253497000 , YANUS 085230616091 , ABAH MUS 085253024321 / 081239510654 , LEO ASHARI 081237960280 / 081353816606 ( , ABAH USMAN 085253155805 , OMBON +6285253199179 , OMED 082122310852 , OMOKI 0380832346 , OMPACE 08124667940 , OMPOLCE 081339466806 , OMTOE 081339476820 , EDY DOY 081237562047 , CORNELIS 085253379218 , ABAH TEGAR 081371003800 , MUTHALIB 03808109530 / 081338608942 / 087866176482 , RIN 08523144000 , RAMLY 085739293931 / 085253318856 , RONAL 082145664724 , DANIEL LEMA 081236960974 , AGUS FERNANDEZ 085239060952 , CORNELIS MANOE 081339001754 , WANTO PIDJO 085239070323 , DAFO 085253459704 www.oesao.multiply.com , http://www.facebook.com/pho... , http://www.facebook.com/gro... , http://ndsareartshop.blogsp/... , http://www.facebook.com/gro... , http://yanuar.kutakutik.or/.... , http://www.forbes.com/lists... , http://mantasi.page.tl/ ,http://mossad.gov.il/ , http://www.youtube.com/watc... , http://k-link.bisniscemerla/...
כד יְבָרֶכְךָ יְהוָה, וְיִשְׁמְרֶךָ. The LORD bless thee, and keep thee;
כה יָאֵר יְהוָה פָּנָיו אֵלֶיךָ, וִיחֻנֶּךָּ. The LORD make His face to shine upon thee, and be gracious unto thee
כו יִשָּׂא יְהוָה פָּנָיו אֵלֶיךָ, וְיָשֵׂם לְךָ שָׁלוֹם. The LORD lift up His countenance upon thee, and give thee peace.
כז וְשָׂמוּ אֶת-שְׁמִי, עַל-בְּנֵי יִשְׂרָאֵל; וַאֲנִי, אֲבָרְכֵם.

Tuesday 5 April 2011

DON LORENZO DIAZ VERA DE GODINHO

1. Latar Belakang
Tidak seorang makluk manusia pun yang dapat melarikan diri dari sejarah. Akan tetapi juga tidak semua makluk manusia di dunia ini dapat menyadari dirinya sebagai pelaku sejarah, dan apalagi berkesadaran sejarah. Realitas seperti inilah yang sering bahkan selalu menjadikan sejarah menjadi sangat penting dan berguna. Betapa tidak kalau setiap makluk manusia mengingat dan merenungkan kembali tentang dimensi masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datangnya. Sebab, melalui sejarah, masa lampau dapat dipahami. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan kemampuan makluk manusia belajar secara regresi. Karena pelbagai wacana sejarah di masa lampau dapat diingat dan ditemukan serta ditulis kembali untuk memahami dunia kita sekarang ini (dunia masa kini), dan sampai di sini dalam rangka menyongsong masa depan yang ingin kita rai. Dimensi sejarah seperti ini terjadi melalui proses dekontruksi dan rekonstruksi simbolis sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat manusia itu sendiri.
Penjelajahan terhadap sejarah, menyadarkan masyarakat manusia baik kelompok mikro maupun kelompok makro bahwa sebagian besar perilaku dan tindakan mansia ditentukan oleh latar belakang sejarahnya (Hariyono, 1995).  Artinya dengan melalui sejarah manusia dapat melestarikan budaya generasi sebelumnya. Di sini manusia belajar dan mengembangkan budaya yang sedang diembannya. Bertolak dari realitas sosial seperti itu, menunjukkan tanggung jawab etis manusia selaku subjek dan sekaligus objek sejarah, sehingga dapat ditumbuhkembangkan dalam sikap dan tindakan nyata setiap saat.
Sayang, peristiwa-peristiwa sejarah dan bahkan peristiwa yang bersejarah pun kebanyakan manusia melupakannya. Akibatnya sebagian besar fakta sejarah termasuk fakta perjuangan para pejuang di berbagai belahan dunia termasuk di dunia Nusa Tenggara Timur mulai diputarbalikan dan disunglap sedemikian rupa supaya tidak dapat dipelajari kembali, karena gengsi, prestise, angku, dan hal-hal yang sejenisnya. Pada hal, bagi manusia, sejarah perjuangan adalah sebuah postulat, suatu kenyataan dan kebenaran, suatu filsafat dan pandangan hidup, yang bertumbuh dan berkembang di dalam alam pemikiran dan kepribadian manusia itu sendiri. Karena itu sejarah perjuangan merupakan suatu norma yang menentukan baik buruknya suatu perjuangan dan seluruh kegiatan kemasyarakatan, kenegaraan, dan perorangan. Dan ia juga merupakan garis pengarah yang menunjukkan tujuan dan sasaran tertentu, yaitu mencapai  masyarakat adil dan makmur, tenteram dan sejahtera lahir dan bathin dari belenggu penjajahan (Diknas,  2005).
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah mengalami penjajahan selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad dari bangsa asing  terutama bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan bangsa Jepang. Bangsa asing yang paling lama menjajah bangsa Indonesia adalah bangsa Belanda yaitu selama 350 tahun atau tiga setengah abad. Selama kurun waktu ini, bangsa Indonesia sangat menderita dalam berbagai bidang kehidupan baik fisik maupun mental. Penderitaan ini disebabkan oleh perlakuan bangsa asing sebagai penjajah terhadap bangsa Indonesia yang tidak berperikemanusiaan, secara politik bangsa Indonesia kehilangan kedaulatannya, dan secara ekonomi bangsa Indonesia menjadi miskin dan melarat. Karena seluruh kekayaan alam di persada ini dikeruk habis demi kepentingan pemerintah kolonial. Sementara itu, rakyat Indonesia juga diwajibkan untuk membayar pajak yang tinggi dan menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah kolonial, serta rakyat dipaksa bekerja keras demi kepentingan kolonialisme. Semua ini tentu menambah berat beban dan penderitaan rakyat Indonesia.
Namun di balik beratnya beban penderitaan rakyat Indonesia, muncul sejumlah nama dan kelompok pejuang yang tidak mungkin kita lupakan begitu saja, mengingat sumbangan mereka yang sangat berharga dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Pertama-tama adalah tokoh-tokoh pejuang nasional kita, yang telah mencurahkan seluruh materi, waktu, tenaga dan bahkan ada yang harus mengorbankan nyawanya untuk kepentingan Nusa dan Bangsa yang tercinta ini sejak awal abad ke-19.  Tokok-tokoh dimaksud telah terukirnya namanya dalam catatan sejarah nasional kita, seperti Thomas Matulessy dan Sultan Nuku dari Maluku, Sultan Agung dan Untung Surapati dari Mataram, Sultan Hassanuddin dari Makasar. Selain itu, ada juga tokoh-tokoh perjuangan yang terkenal pada abad ke 19 antara lain  Pangeran Diponegoro, Iman Bonjol, Teuku Umar dan Cut Nya Dien, serta Panglima Polim, (Diknas, 2005).
Ada pula tokoh-tokoh (pemimpin) lokal yang juga telah memberi reaksi dan dorongan yang sangat konstruktif. Mereka berasal dari berbagai daerah yang juga berusaha mempertahankan kedaulatan, harkat dan martabatnya dari ancaman intervensi pemerintahan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut telah terukir dalam catatan sejarah Nusa Tenggara Timur, antara lain: Sobe Son Bai dan Bil Nope dari  Timor, Motang Rua dari manggarai, Mari Longa dari Ende, Nahak Maroe Rai dari Belu, Melie Lehi dari Alor, Nipa Do dari Ngada (Doko, 1973; Lapian, 1983; Diknas, 2005).
Selain itu masih ada sederetan nama yang jauh lebih panjang daripada nama-nama yang disebutkan di atas itu belum mendapat giliran untuk diteliti dan ditulis dalam catatan sejarah perjuangannya termasuk para pemimpin pejuangan melawan Belanda di Larantuka seperti raja Don Lorenso, Hendrik Fernandez, perjuangan para Kakang di Lewotala tahun 1912,  Tamela Mean di Adonara Barat tahun 1905-1906, Ola Bebe di Watoone Adonara Timur tahun1912 (Koten, 1973). Penulisan riwayat perjuangan dari tokoh-tokoh dimaksud agar masyarakat terutama generasi muda dapat mengetahui latar belakang dan tujuan perjuangan tokoh-tokoh pendahulunya. Perjuangan tersebut mengan-dung nilai-nilai fundamental bagi pembentukkan kepribadian  masyarakat yang mengeta-huinya terutama pembentukkan kepribadian generasi muda yang handal dan kapabel. Untuk itu, peneliti berkeinginan untuk memperkaya  kajian yang ada tentang sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda dari berbagai kalangan, terutama perlawanan raja Don Lorenso terhadap Belanda tahun 1904-1905 di Larantuka-Flores Timur.

2. Perumusan Masalah
Berangkat  dari fakta empirik (pemikiran induktif) yang telah diutarakan pada latar belakang di atas, maka melalui pendekatan sejarah (historis approach),   permasalahan tersebut  perlu dirumuskan masalahnya untuk dicermati dan dikaji.  Dengan demikian masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.  Bgaimana latar belakang kehidupan Raja Don Lorenso sebelum menjadi pemimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda?
2.   Apa tujuan  perjuangan raja Don Lorenso melawan kolonialisme Belanda?
3.   Bagaimana proses perlawanan raja Don Lorenso terhadap kolonialisme Belanda?
4.  Apa dampak perlawanan raja Don Lorenso  bagi masyarakat  Larantuka?
5. Bagaimana persepsi masyarakat Larantuka terhadap perjuangan Don Lorenso melawan kolonialisme Belanda?
6.  Apa makna dan nilai dari perlawanan Don Lorenso terhadap kolonialisme Belanda?

3. Tujuan Penelitian
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui latar belakang kehidupan raja Don Lorenso sebelum menjadi pemimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda. (2) mengidentifikasi tujuan  perjuangan raja Don Lorenso melawan kolonialisme Belanda. (3) mendeskripsikan  proses perlawanan raja Don Lorenso terhadap kolonialisme Belanda. (4) mengetahui  dampak perlawanan raja Don Lorenso  bagi rakyat Larantuka. (5) memperoleh gambaran yang jelas mengenai persepsi masyarakat Larantuka terhadap perjuangan raja Don Lorenso melawan Belanda. (6) menganalisis  makna dan nilai dari perlawanan raja Don Lorenso melawan Belanda.

4. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: manfaat secara akademis dan manfaat secara praktis. Secara akademis yang diharapkan dari hasil penelitian  ini dapat memberikan sumbangan akademis  berkaitan dengan   perjuangan raja Don Lorenso melawan penjajahan bangsa asing di bumi kerajaan Larantuka yang masih melekat pada masyarakat lokal (indigenous people) Larantuka Nusa Tenggara Timur sebagai pemilik dan pendukung perjuangan raja Don Lorenso ketika berpapasan dengan penjajahan bangsa asing, sehingga kita tidak kehilangan jati diri  dan dapat mengetahui posisi kita masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini, agar hasil penelitian ini dapat memeberikan masukan bagi para pemngambil kebijakan terutama Pemerintah Daerah Flores Timur dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur  dalam merumuskan berbagai kebijakan yang berkaitan  dengan  proses pengusulan gelar poahlawan daerah di Nusa Tenggara Timur maupun pahlawan nasional.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Hakekat Sejarah      
    Berbicara mengenai sejarah berarti berbicara tentang proses (waktu), tempat, tokoh, peristiwa, dan fakta masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang manusia. Karena itu, tidaklah berlebihan kalau manusia mengatakan sejarah adalah cermin bagi masyarakat manusia. Dalam konteks ini manusia dapat melihat ke belakang, yang ada di sekitarnya, dan dapat melihat ke depan untuk melakukan aktivitas yang cocok dan tepat sasar pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Sebab sejarah tidak sekedar rentetan peristiwa secara kronologis, melainkan gambaran berbagai hubungan yang benar-benar manunggal antara manusia, peristiwa, saat, dan tempat. Dengan demikian maka, manusia menggunakan peristiwa sejarah untuk memahami masa lampau, dan mencoba memahami masa kini atas dasar peristiwa atau perkembangan di masa lampau (Faisal, 1992:383). Selanjutnya dipertegas oleh  Zidi Gazalba bahwa sejarah merupakan gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makluk sosial yang disusun secara  ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang telah berlalu itu (1981:13). Berangkat dari kedua pemikiran ini sebenarnya telah memberikan pengertian dan pemahaman yang sangat berarti bagi hidup dan kehidupan manusia, karena pada hakekatnya mempelajari sejarah “bukan semata-mata mempelajari masa lampau dan kemudian memisahkan masa lampau itu dengan masa kini dan masa yang akan datang, melainkan mempelajari sejarah berarti mempelajari relasi antara masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sebab hanya dengan demikian kita dapat dengan jelas melihat jalannya sejarah dan pertanda zamannya” (Simatupang, 1983:1).
Sejarah adalah  rekaman prestasi, ia bukan semata-mata daftar peristiwa secara kronologis, melainkan gambaran mengenai hubungan yang benar-benar manunggal antara manusia, peristiwa, saat, dan peristiwa. Manusia menggunakan sejarah untuk memahami masa lampau dan masa kini atas dasar peristiwa atau perkembangan di masa lampau (Faisal, 1992:283). Artinya, dengan mempelajari sejarah berarti kita menggali kembali makna dan nilai-nilai kesejarahan umat manusia di masa lampau, untuk dapat diaplikasikan dalam praktek hidup harian kita setiap hari, dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan hidup kita di masa yang akan datang.

2. Hakekat Nilai Perjuangan
Pada hakekatnya nilai merupakan suatu simbol yang lebih bersifat relatif dan dikontruksikan oleh pemberi nilai itu sendiri. Karena itu menurut Driyarkara dalam Ande (2004) menyatakan bahwa nilai adalah hakekat suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia dan menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik. Nilai semacam ini eksistensinya sudah tidak dapat dipisahkan dari individu. Nilai terbentuk dari perasaan yang sangat mendasar dalam setiap aktivitas manusia. Sehingga menurut Koentjoro  (1988) dalam Ande (2004),  nilai itu terbentuk dan dimiliki manusia melalui proses yang lama, dan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Nilai yang dipelajari ini kemudian bisa menjadi bagian dari kepribadian bawahsadar. Pada tingkat ini, nilai tersebut dapat dijadikan sebagai landasan bagi reaksi yang diberikan secara otomatis terhadap situasi tingkah laku.  Menurut Cohen dan Simamora (1983), nilai adalah suatu kepercayaan yang mendalam dari suatu kelompok, ketika mereka harus menghadapi sesuatu pilihan apakah hal itu baik, menguntungkan, atau sesuai dengan yang dikehendaki untuk menentukan perbuatan dan perilakunya.
Bertolak dari hasil pemikiran di atas,  nilai pada hakekatnya adalah sesuatu yang baik dan benar, yang pantas, luhur, yang diyakini, yang diangkat dari beberapa alternatif dan selanjutnyaa diaktualisasikan untuk meningkatkan usaha perwujudan dan penyempurnaan diri manusia. Dalam arti ini, nilai jelas tidak identik dengan angka matematis tertentu. Nilai erat hubungannya dengan kualitas pribadi manusia. Karena ia bisa dianggap sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi tindakan-tindakan manusia. Perlu diingat bahwa yang memberikan nilai itu, enta pada sesuatu hal atau barang maupun pada sebuah tindakan adalah manusia sendiri. Karena tindakan manusia itu selalu dipandang dalam konteks perwujudan dan penyempurnaan diri manusia sebagai manusia, yakni demi kebahagiaan manusia itu sendiri, maka jelas bahwa tidak semua tindakan manusia bernilai memanusiakan manusia. Artinya nilai pada tataran ini mempunyai fungsi yang sangat mendasar bagi manusia.
Sesuatu atau barang material dikatakan bernilai kalau barang tersebut bisa menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia. Segala sumber daya dan kekayaan alam dapat dijadikan sebagai contoh. Semua materi bernilai karena merupakan sarana yang bisa menjamin peningkatan kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia, sesuai dengan tujuan dan kegunaannya (Foster, 1987).
Tindakan manusia, bernilai memanusiakan manusia, kalau pemilikan dan pemanfaatannya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati secara adil dan merata oleh semua orang. Rokeach dalam Koentjoro  (1988), menyatakan bahwa ukuran baku dari berbagai hal yang mengarahkan kegiatan individu untuk menentukan posisi, mempengaruhi orang lain, menunjukkan keadaan dirinya kepada orang lain, evaluasi, membandingkan, rasionalisasi perasaan, memecahkan masalah dan pengambilan kebijakan atau keputusan, dan untuk motivasi. Dengan demikian jelas bahwa praktek monopoli dalam aneka bentuknya dan sikap materialistis ditolak dan tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan tuntutan perwujudan dan pengembangan diri manusia. Praktek semacam itu hanya menunjukkan keserakahan manusia.
Dengan demikian nilai perjuangan pada hakekatnya membentuk manusia dan memantulkan pencapaian martabat manusia. Manusia bertumbuh dan berkembang dalam kesejarahannya, karena kodrat manusia untuk mencapai kemanusiaan yang penuh dan sejati hanya melalui sejarahnya yakni dengan mengembangkan kebaikan dan nilai-nilai kodratnya. Di sini nilai sebagai milik manusia yang berfungsi sebagai ruang lingkup realisasi diri. Oleh karena itu, Rokeach dalam Koentjoro (1988) nilai mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu Pertama, nilai yang mempunyai ukuran baku dari berbagai hal yang mengarahkan kegiatan individu. Untuk itu nilai dalam konteks ini berfungsi sebagai penentu posisi tertentu menurut pandangan sosialnya; mempengaruhi orang lain agar mendukung ideologi politik atau agama yang dianutnya; menunjukkan keadaan diri kepada orang lain; mengevaluasi dan menilai dirinya sendiri dan orang lain;  membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain; dan mempengaruhi orang lain dengan mengatakan keyakinannya, sikapnya, nilainya, serta menegaskan tingkahlaku mana yang bertentangan; serta untuk mengadakan rasionalisasi perasaannya, keyakinannya, sikapnya dan tingkahlakunya yang tidak sesuai dan tidak diterima baik secara pribadi maupun secara sosial. Proses rasionalisasi ini merupakan komponen yang paling penting dalam pertahanan diri, dan nilai dapat membantu mempertahankan diri, dan sekaligus dapat meningkatkan harga diri. Kedua, sistem nilai sebagai rencana umum untuk memecahkan konflik dan pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya sistem nilai merupakan organisasi prinsip yang dipelajari, dan diatur untuk membantu seseorang dalam memilih alternatif, memecahkan konflik dan akhirnya mengambil keputusan yang cocok dan sesuai. Ketiga, nilai berfungsi sebagai pendorong. Karena nilai merupakan alat atau senjata yang bersifat konseptual dan dipergunakan sebagai pendorong untuk mempertahankan diri dan meningkatkan harga diri.
Aplikasi dari nilai, sistim nilai, dan fungsi nilai perjuangan yaitu dijadikan sebagai pedoman tingkahlaku sehari-hari, dan juga sebagai ekspresi terhadap kebutuhan dasar manusia. Karena nilai perjuangan merupakan  aktualisasi daripada: (1) manfaat dan kepuasan emosi, (2)  manfaat ekonomi dan rasa aman, (3) pemupukan dan pengembangan diri, (4)  identifikasi dengan orang lain, (5) ikatan dan kelangsungan keluarga, (6)  beban emosi, (7) beban ekonomi, (8)  keterbatasan gerak, (9)  tuntutan jasmaniah, (10)  beban keluarga, (11) hubungan antara saudara kandung, (12)  preferensi jenis kelamin, (13) kelangsungan hidup, dan (14)  beban kehidupan sosial (Diknas, 2005).   
Dengan demikian dimensi-dimensi ini secara singkat sangat ditentukan oleh unsur-unsur pembentukan nilai: manfaat (utility), keperluan/pentingnya (importance), penilaian (estimation), dan kebutuhan (need) Ande, (2003:123).

3. Konsep Perlawanan Terhadap Kekuasaan
Konstruksi sejarah  merupakan kelanjutan dari pendekatan fenomenologi, yang lahir dan berada di dalam paradigma fakta sejarah. Dunia sejarah merupakan sesuatu yang intersubjektif dan pengalaman yang penuh makna (meaningfull). Menurut Weber makna tindakan identik dengan motif untuk tindakan atau in-order to motive, artinya untuk memahami tindakan individu haruslah dilihat dari motif apa yang mendasari tindakan itu. Schultz menambahkan dengan because-motive atau motif asli yang benar-benar mendasari tindakan yang dilakukan oleh individu (Waters, 1994:33).
Usahanya untuk memahami konstruksi sejarah, maka pertama, mendefenisikan tentang “kenyataan” dan “pengetahuan”. Kenyataan sejarah adalah sesuatu yang tersirat di dalam pergaulan  yang diungkapkan melalui sejarah melalui komunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial,  dan sebagainya. Kenyataan ini ditemukan di dalam pengalaman intersubjektif.  Sedangkan pengetahuan mengenai kenyataan sejarah berkaitan dengan penghayatan kehidupan bermasyarakat dengan segala aspeknya yang meliputi kognitif, psikomotorik, emosional dan intuitif. Kedua, untuk meneliti sesuatu yang intersubjektif tersebut, Berger menggunakan panduan cara berpikir Durkheim mengenai objektivitas  dan Weber mengenai subjektivitas. Berger melihat keduanya sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Diandaikan bahwa terdapat subjektivitas dan objektivitas di dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1990:28-65).
Menurut Camus dalam Ande (2003), kekecewaan  seseorang itu semakin hari semakin menegas, hingga melahirkan kesadaran untuk melakukan perlawanan. Kondisi ini dikategorikan sebagai alasan pokok yang mendasari (underlying factors) terjadinya perlawanan seseorang atau pun kelompok. Hal ini kemudian diperuncing oleh faktor pemicu (precipitating factors) yaitu suatu angin politik yang memberi kebebasan kepada seseorang atau masyarakat untuk melakukan berbagai tuntutan dan melakukan kontrol terhadap yang berkuasa. Bertemunya alasan pokok yang mendasari perlawanan dan faktor pemicu telah berhasil mengkristalkan kesadaran manusia untuk melakukan perlawanan.
Tipologi motif tujuan perlawanan yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut: (1) menganut pendekatan moral ekonomi menganggap bahwa protes dan gerakan  seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk mempertahankan institusi tradisiona mereka dan norma-norma resiprositas mereka dari ancaman kapitalisme dan kolonialisme, (2) penganut pendekatan ekonomi politik menganggap bahwa gerakan melawan penjajah bertujuan untuk menolak perubahan yang dikalkulasi  akan merugikan dan bahkan mengancam mereka, atau sekurang-kurangnya, perubahan ini dinilai telah menghalang-halangi usaha yang mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup, (3) penganut pendekatan histories menganggap bahwa tujuan gerakan melawan penguasa lebih berkaitan dengan ideology milenarisme, eskhatologisme, mesinisme, perang jihat, dan revivalisme, akan datangnya masyarakat yang adil, tenteram, dan makmur.
Perlawanan terhadap institusi tidak akan pernah terjadi apabila individu sudah merasa aman dalam berhadapan dengan struktur obyektif. Rasa aman di sini bukan dalam arti aman secara material, akan tetapi aman secara rohani, antara lain karena makna kehidupannya dijamin dalam struktur obyek itu (Berger & Luckmann, 1990, xxv). Lebih lanjut Berger  menjelaskan bahwa apabila individu-invidu kehilangan rasa aman atau mengalami alienasi maka perlawanan terhadap struktur  obyektif akan mulai muncul, meskipun hanya terbatas pada kesadaran subyektif. Lahirnya suatu kesadaran bersama tentang keadilan  yang transedental sering kali dapat menggerakan kaumnya untuk bertindak.  Kesadaran seperti ini akan mampu  mempersatukan kaumnya hingga berakhir membentuk koalisi-koalisisi kaumnya.
Kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang berbeda, tetapi sulit untuk dipisahkan. Perbedaan yang paling mencolok ialah kekuasaan selalu bergantung pada jumlah dukungan, sementara kekerasan dapat muncul tanpa ada dukungan tersebut, karena kekerasan berdasarkan pada implementasi. Bentuk ekstrem dari kekuasaan adalah semua lawan satu, sedangkan bentuk ekstrem dari kekerasan adalah satu lawan semua. Kekerasan seringkali dianggap sebagai prasyarat untuk kekuasaan, karena kekerasan seringkali digunakan untuk menjaga kekuasaan dari penentangan para individu (Arendt, dalam Steger & Lind, 1999: 3-7). Selanjutnya Hannah Arendt menyatakan bahwa kekerasan adalah instrumen yang selalu memerlukan guidance dan jastifikasi melalui tujuan yang dikejar. Kekuasaan tidak memerlukan jastifikasi, karena yang diperlukan adalah legitimasi. Kekuasaan berkembang ketika orang-orang bersatu dan bertindak  secara kolektif, tetapi ia mendapatkan legitimasi dari pengelompokan awal dan bukan pada tindakan-tindakan selanjutnya. Legitimasi mendasarkan diri pada tinjauan masa lalu, sementara jastifikasi berhubungan dengan tujuan yang tentunya ada pada masa yang akan datang. Kekerasan dapat dijastifikasi, tetapi ia tidak akan pernah mendapatkan legitimasi (Steger & Lind, 1999: 7-11).

4. Konsep Kepemimpinan Perjuangan
Realitas sosial yang menarik adalah  perlawanan para penguasa pribumi terhadap penjajahan dan penindasan (kekerasan) yang dilakukan oleh para penguasa asing.  Untuk itu, tentu membutuhkan seorang pemimpin/tokoh yang mempunyai kepribadian lebih dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang pemimpin juga harus mempunyai sifat universal dan berwawasan luas untuk dapat selalu dipertemukan dan diperlakukan dalam setiap kegiatan atau usaha bersama.
Kepemimpinan pada masyarakat tradisional pada umumnya adalah kepemimpinan karismatik. Mereka ini pada umumnya adalah pemimpin genealogis dan pemimpin keagamaan. Dalam menjalankan aktivitasnya selalu dilandasi oleh traddisi setempat atau tradisi lokal (Depdikbud, 1979:34).
Sebagai seorang pemimpin atau tokoh dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting, baik dalam skalah makro maupun mikro. Peranan itu penting karena berhubungan dengan bagaimana mengatur dan menata peri-kelakuan seseorang. Juga menyebabkan peranan seseorang, pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang sehingga dengan demikian orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan dengan peri-kelakuan orang-orang sekelompoknya (Soekanto, 1982:138).

































BAB III
METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Larantuka bekas perjuangan raja Don Lorenso melawan Belanda tahun 1904-1905. Wilayah ini dalam sistem administrasi pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Flores Timur-Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Alasan pemilihan lokasi ini menjadi obyek penelitian didasarkan atas pertim-bangan: (1) Larantuka merupakan salah satu daerah yang  memiliki tokoh-tokoh pejuang yang gagah berani dan berjiwa heroik untuk mengusir penjajahan; (2) Kajian tentang sejarah perlawan terhadap penjajah (Belanda) di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur hampir tidak mendapat perhatian dari para peneliti, karena sulitnya data dan informasi tertulis yang didokumentasikan oleh para pendahulu kita.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian sejarah lokal dengan menggunakan paradigma kualitatif yang bertujuan untuk menemukan, menganalisis, dan mendeskripsikan semangat perjuangan raja Don Lorenso terhadap penjajahan Belanda tahun  1904-1905 di Larantuka-Flores Timur.
Penelitian ini mengenai segala sesuatu yang diketahui oleh warga masyarakat tertentu, maka metode sejarah yang berparadigma kualitatif merupakan pilihan metode yang digunakan untuk mendapatkan data lapangan mengenai: pengalaman, pengetahuan, pandangan dan keinginan warga masyarakat yang diteliti dengan cara pengamatan  dan wawancara mendalam. Sebab dengan metode sejarah dipandang mampu untuk melakukan sinkronisasi antara kepentingan dan kebutuhan manusia dengan proses akumulasi pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah (Spradley, 1997:19).

3. Penentuan Informan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati secara holistik (Moleong, 2000:3), jenis studi kasus, sehingga besar kecilnya informan bukan merupakan prioritas utama dalam upaya penggalian data, namun yang terpenting adalah kualitas informan dalam memberikan data yang jelas dan akurat sesuai dengan kebutuhan, agar apa yang ingin dicapai itu tercapai yaitu representasi autentik dari apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Spradley (1997) menyebutkan paling sedikit ada 5 (lima) kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih informan yang baik yaitu: (1) Enkulturasi penuh, merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu; (2) keterlibatan langsung, dengan topik yang sedang diteliti; (3) Suasana budaya yang tidak dikenal, sehingga peneliti bersikap lebih obyektif terhadap informan; (4) Cukup waktu, bagi informan untuk dimintai keterangan; (5) Non analitik, informan tidak menganalisis atau mengolah pertanyaan tersebut terlebih dahulu, sehingga bersifat apa adanya. Dengan demikian informan yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik/luas tentang permasalahan yang diteliti, meliputi: (1) Turunan raja; (2) Tua adat; (3) Tokoh masyarakat; (4) Lembaga Pemerintah yang terkait; dan (5) Pemerhati  sejarah. Dan untuk kepentingan verifikasi data tentang perlawanan raja Don Lorenso terhadap penjajahan Belanda di Larantuka, maka peneliti menentukan informan kunci (key informants), karena  dianggap sebagai pewaris sejarah  aktif, berpengetahuan luas  dan menjadi sumber pembuka berbagai informasi.

4. Teknik Pengumpulan Data
    Dalam upaya untuk mendapatkan data yang akurat dan terandalkan, maka peneliti akan berusaha untuk menggunakan tiga jenis teknik pengumpulan data yaitu: Observasi,    Wawancara dan studi dokumentasi (Dooley, 1984; Wener dan Schoepfle, 1987; Shimahara, 1988; Faisal, 1992).
Observasi atau pengamatan di dalam penelitian ini terutama ditujukan pada perjuangan raja Don Lorenso melawan Belanda sebagai salah satu unit pengamatan utamanya. Kegiatan observasi dilakukan dengan cara melihat secara langsung situs sejarah  (peninggalan) raja Don Lorenso dan dampak perjuangannya yang berkembang di kalangan masyarakat Larantuka. Untuk mendukung hasil pengamatan tersebut, maka peneliti menggunakan media visualisasi berupa foto-foto yang menggambarkan tentang aktivitas hidup raja Don Lorenso yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
    Wawancara digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data dari sumber informasi yang memahami dan mengetahui secara mendalam tentang masalah yang diteliti. Untuk mendapatkan informan  yang  dimaksud, maka sejak awal pengamatan dilaksanakan sudah ditentukan informannya. Karena, seorang peneliti harus terlebih dahulu memahami secara mendalam pengetahuan informan tentang permasalahan yang diteliti, dari hasil pengamatan  yang dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan dalam proses wawancara adalah teknik wawancara mendalam (indepht interview). Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan tujuan, Marsall & Rossman dalam Ande (2004:27). Dalam wawancara mendalam, peneliti akan menyusun beberapa pertanyaan pokok seba-gai pedoman untuk membuka pertanyaan. Selanjutnya pertanyaan berikutnya didasarkan pada jawaban atas pertanyaan pokok tersebut. Pertanyaan tersebut akan ditujukan kepada informan.  Untuk mendukung wawancara mendalam, maka  dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan peralatan lain sebagai alat bantu yaitu buku catatan harian mengenai kegiatan penelitian, dan tape recorder untuk merekam hasil wawancara agar tidak terlupakan. Bahasa yang akan digunakan dalam wawancara mendalam adalah bahasa Indonesia dialek Lamaholot-Larantuka. Penggunaan bahasa Indonesia berdialek Lamaho-lot oleh peneliti dengan pertimbangan sebagai mekanisme adaptasi dan tidak berjarak antara peneliti dan informan (proses wawancara dalam suasana kekeluargaan).  
    Di samping teknik observasi dan wawancara, juga teknik studi dokumentasi digunakan dalam penelitian ini. Tujuannya untuk menemukan kembali dokumen-dokumen yang berkaiatan dengan  peristiwa yang dimasukinya (Faisal, 1992). Sehu-bungan dengan itu, maka dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu doku-men yang berkaitan  dengan peristiwa sejarah perjuangan raja Don Lorenso   di kerajaan Larantuka tahun 1904-1905.

5. Analisis Data
Aanalisis data akan dilakukan adalah analisis histories (paradigma kualitatif) dengan cara mengumpulkan data yang berasal dari hasil pengamatan (observasi) lapangan, dan wawancara mendalam, serta studi kepustakaan. Data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan dan diidentifikasi berdasarkan pola, tema, dan sub-temah.  Data yang ada selanjutnya akan dikelompokkan dan dikategorikan, agar dapat terlihat hubungan suatu gejala dengan gejala yang lain untuk diinterpretasikan melalui teori-teori yang relevan (Milles dan Huberman, 1987).
Proses analisis  historis dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) Tahap penemuan; (2) Tahap memberi kode atau catatan; dan (3) Tahap penulisan atau deskripsi.  Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab masalah perjuangan raja Don Lorenso terhadap penjajahan Belanda di Larantuka-Flores Timur.





































BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


1 Selayang Pandang Wilayah Kerajaan Larantuka

1.1. Keadaan  Geografis          
Wialayah kerajaan Larantuka mula-mula dibentuk oleh suku-suku tradisional yaitu lima suku utama yang dalam bahasa lokalnya disebut Pou Suku Lema. Karena perkembangan dan perubahan zaman yang kian bertambah, maka dibentuklah wilayah perkampungan adat (wilayah perwakilan) yang dalam bahasa lokalnya disebut Kakang Lewo Pulo. Himpunan wilayah perkampungan-perkampungan  adat dibentuk kerajaan dengan pusat ibukotanya di Larantuka. Larantuka pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia merupakan pusat kegiatan pemerintahan kerajaan atau lazimnya disebut kerajaan Larantuka. Namun setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia wilayah kerajaan Larantuka  berkembang menjadi pusat ibukota kabupaten Flores Timur.
Wilayah Larantuka secara astronomis terletak pada 123’ Bujur Timur pada ujung pulau Flores bagian Timur berhadapan dengan selat Lewotobi. Wilayah ini sejak dahulu ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang. Selain itu di wilayah ini pula menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang, karena Larantuka berada di persimpangan jalan yang strategis. Keramaian ini pula didukung oleh ketersediaan potensi sumberdaya alam yang menjadi salah satu andalan dalam dunia perdagangan pada waktu itu yaitu Kayu Cendana.
    Wilayah Flores Timur beriklim tropis. Dengan iklim ini masyarakat Flores Timur mengenal dua musim yaitu kemarau “Ekan Kolin”  yang berlangsung dari bulan April sampai bulan Oktober dan  musim hujan “Ekan Warat” yang berlangsung dari bulan Nopember sampai  Maret dengan jumlah rata-rata hari hujan antara 50-100 hari.  
Topografi wilayah Larantuka didominasi oleh gunung dan bukit dengan derajat kemiringan di bawah 40 persen dan di atas 40 persen (Profil Potensi Kabupaten Flores Timur, 1999/2000). Situasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Flores Timur terdiri dari daerah perbukitan dan sedikit daerah dataran rendah. Daerah perbukitan atau pegunungan mempunyai peluang yang sangat besar untuk usaha dalam bidang pertanian lahan kering (perladangan). Sedangkan daerah dataran rendah diusahakan pertanian lahan basah (persawahan).
Jenis tanah di wilayah Flores Timur umumnya berwarna merah yang kedap air. Pembentukan jenis tanah dipengaruhi oleh batuan induk, topografi, fegetasi dan umur jenis tanah. Selain itu ada juga jenis alluvial, Litosol, Latosol dan jenis tanah mediteran, karena di wilayah ini juga  merpakan jalur pegunungan api.

1.2. Asal Nama Larantuka
    Mitos dalam tradisi mampu memberikan bayangan mengenai pandangan manusia dalam suatu kurun waktu di masa lampau. Mitos dewasa ini juga diandalkan dalam kerja ilmiah yang mengutamakan fakta handal dan data yang akurat. Memang sebuah mitos memiliki sisi yang kabur tapi menarik. Menarik karena segalah pesan dan kesan sejarah yang paling menentukan ekssistensi sebuah masyarakat coba ditafsir dan dimantapkan dalam cerita. Mitos itu semakin kuat kalau dihidupi dalam ritus-ritus dan diabadikan dalam pandangan hidup dan dihayati dalam praktis.  Namun mitos itu terasa kabur karena seakan-akan menawarkan benang merah yang terputus-putus. Mitos tidak merujuk kesinambungan antara peristiwa, tapi juga tidak memberikan batas antara kenyataan dan kegaiban. Mitos terasa begitu kuat menyimpan pesan tanpa perlu memahat waktu dan bukti di atas prasasti.
Menurut mitos/ceritera yang dikisahkan oleh para pendahulu kita (tetua adat) bahwa wilayah ini diberi nama Lewonama atau lengkapnya Lewonama namadike mela lou. Lewonama dalam bahasa lamaholot bererti kampung tempat orang-orang melaksanakan tarian (Lewo: Kampung, Nama (ng): tempat menari). Nama ini biasanya dibangun dan berada di depan “Korke/koke”. Korke adalah bangunan suci symbol nenek moyang. Di  tempat ini orang Lamaholot biasanya mengadakan upacara.penyembahan kepada roh nenek moyang. Di tempat ini pula biasanya ditempati oleh dua fungsionaris adat. Seorang memainkan fungsi sebagai hakim adat. Ia berperan sebagai penentu besarnya silih yang harus ditanggung oleh mereka yang telah melanggar hukum adat. Dan silih atas kesalahan dan dosa diselesaikan oleh imam adat suku dalam ritus penghapusan dosa.   Nama Lewonama lazimnya digunakan pada masa kekuasaan “Usi Elo Ade Molan. Setelah itu ini diganti dengan nama lain yaitu Mandiri Tanalolon. Nama ini digunakan pada masa kekuasaan “Tuan Tian Padung Ile Raya Usi”
Dalam perkembangan selanjutnya karena termakan arus zaman dan kelaziman orang Flores Timur melihat dan memandang tempat tinggal raja berada di antara Waibalun dan Lewonama, yang diberi nama Riangtukan yang berarti tempat ditengah jalan. Karena pengaruh dialek masyarakat setempat maka Riangtukan mengalami perubahan dan lazimnya orang Lamaholot menyebut Larantuka hingga sekarang ini. Kata Larantuka berasal dari kata “Laran” dan “Tuka”  (ng). Laran berarti jalan dan Tuka (ng) berarti tengah. Jadi Larantuka berarti “Jalan Tengah”. Selain itu menurut masyarakat setempat kata Larantuka juga biasa dikaitkan dengan tempat persinggahan atau pertemuan arus lalulintas laut (kapal-kapal dagang) yang datang dari arah Barat lewat selat Lewotobi, maupun dari arah Timur lewat selat Larantuka. Penggunakan secara resmi nama Larantuka ketika Portugis menduduki wilayah Flores Timur. Penghapusan nama Lewonama dan Riangtukan menjadi Larantuka  secara resmi dilakukan dalam sidang terbuka yang digelar oleh Portugis.
 Nama Larantuka juga biasanya dikaitkan dengan tokoh Pati Golo, sebagai  peletak dasar berdirinya kerajaan  Larantuka. Pati Golo menurut masyarakat setempat berasal dari kerajaan Wehali, maka nama Larantuka bisa berasal  bahasa Tetun dari kata  “Laran dan Tuka”. Laran artinya dalam (pusat pemerintahan kerajaan Wehali yang bergelar Maromak Oan (anak Allah). Sedangkan Tuka berarti  batas/berhenti/tidak bisa dilanjutkan lagi, (Bdk. Koten, 1973; 5;  Parera, 1971; 19 ). Artinya bahwa: “Pengertian ini erat kaitannya dengan peta pengaruh kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali di pulau Timor (Belu Selatan) pada zaman dahulu. Pengaruh kekuasaan Wewiku-Wehali di Timor sampai juga di Larantuka. Wilayah Flores Timur kemudian dianggap sebagai batas kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali, yang diabadikan dalam sebuah nama yaitu Larantuka. Dengan nama Larantuka memberikan gambaran kepada kita bahwa sebenarnya wilayah kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali mulai dari kampung Laran sampai di Flores Timur (Larantuka). Hal ini  dapat dibuktikan dengan beberapa kata atau ungkapan yang masih hidup dan dipertahankan hingga sekarang ini, yaitu: (1) Kata Meo yang berarti panglima perang, dan kata Meo selalu dihubungan dengan Timu yang  berarti Panglima Perang dari Timur. (2) Raja Don Lorenzo DVG dan Raja Don Gaspar DVG, menyebut dirinya Raja Usi Neno I dan Raja Usineno II.  (3) Penduduk Belu Selatan adalah penduduk yang berasal dari Sina Mutin Malaka. Gelombang pendatang ini sebelum sampai di Belu Selatan lebih dahulu menyinggahi Larantuka. Di dalam pelayaran selanjutnya mereka menyinggahi Pulau Kusu, Pulau Kae, Pulau Loe, dan Larantuka, Bauboin. Di tempat yang terakhir ini disebelah Timur paling ujung dari pulau-pulau Flores, sebagian dari mereka tinggal menetap. (Parera, 1971;88). (4) Pengaruh kekuasaan Jawa Majapahit sampai juga di wilayah Flores Timur. Hal ini terungkap dalam buku Negarakertagama 1279 Saka atau 1357 Masehi Majapahit mengirimkan expedisinya dan berhasil penaklukan  Dompo di Nusa Sumbawa yang sering kali berontak. Dalam kesempatan expedisi ini pula ditaklukan beberapa daerah di Nusa Nipa antara lain Lewonama, dan Krowe. Nusa Solor dijadikan inti/pusat Djawa Madjapahit, kemudian dialihkan ke pesisir Nusa Nipa yakni Lewonama/Larantuka. Nusa Sumbawa dinamai Portugis Java Minor. Jadi Sumbawa mempunyai kedudukan istimewa dalam rangka pertahanan Madjapahit sehingga oleh Portugis dibedakan antara Java Mayor dan Java Minor. Tetapi Dompo bukanlah menjadi batu loncatan  yang cocok bagi Jawa Majapahit untuk menaklukan Nusa Nipa dari jurusan Barat. Karena derasnya arus di  Selat Sape yang sering menghambat kelancaran  pelayaran dan pengiriman pasukan-pasukan. Apalagi sikap Dompo yang sering memberontak Majapahit tidak memberikan jaminan untuk dijadikan sebagai basis pertahanan untuk menaklukan Nusa Nipa. Sikap Dompo tidak dapat dipercayai. Untuk tujuan ini Nusa Solor lebih memenuhi syarat sehingga dijadikan sebagai  basis pertahanan Jawa di Nusa Nipa ini. (Orinbao, 1969;24 ). (5) Bangsa Portugis pada waktu yang lalu dalam pelayaran ke dan dari pelabuhan Maluku untuk membeli rempah-rempah, singgah juga di perairan Larantuka dan sekitarnya, yaitu di Pulau Solor. Mereka juga membeli kayu cendana yang pada waktu itu banyak tumbuh di pulau Solor. (6) Perahu-perahu dagang Cina pada zaman dahulu dalam pelayarannya, juga singgah di pelabuhan Larantuka. Mereka menjual atau menukar barang-barang dagangannya berupa piring-piring, gelas, mangkok dan lain-lain. Barang antik berupa porselin asal Cina ini sampai sekarang masih disimpan oleh penduduk Flores Timur.

1.3. Asal Usul Penduduk Larantuka
Menurut cerita rakyat, Orang Flores Timur berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Sebagian penduduk menyebutkan diri sebagai penduduk asli daerah tersebut Ata Ile Jadi.  Ile artinya “Gunung” dan Jadi artinya “Melahirkan”. Dari ungkapan ini menggambarkan bahwa nenek moyang orang Lamaholot berasal dari gunung atau menetap di gunung. Artinya bahwa sebelum terjadi migrasi antar suku bangsa (keroko Pukong, Sina Jawa, dan Sina Mutin Malaka), di Flores Timur sudah ada penduduk asli.  
Mengenai keberadaan suku bangsa asli di Flores Timur dikisahkan atau diceriterakan sebagai berikut: Mula-mula di lereng gunung Mandiri hiduplah dua orang kakak-beradik, yang bernama Lenurat dan  Watowele Apautan. Seluruh anggota tubuh mereka masih berbulu. Kehidupan mereka sangat tergantung pada alam (food gathering) yaitu mengumpulkan bahan makan dari alam dan berburu binatang hutan dengan menggunakan kukunya yang panjang sebagai senjata. Dalam kebersamaan mereka sudah begitu lama, akhir kedua bersaudara ini berembuk dan sepakat untuk berpisah. Watowele pidah ke arah Timur,   dan menetap di Wotowela Dole Tabu Wela Mole, di singkat Woto. Sedangkan Lenurat menetap disuatu tempat bernama Likat Lamaboting Awo Lama Banuk. Pada waktu kedua bersaudara ini berembuk untuk berpisah, di pesisir pantai sudah ada pendatang baru yang dikenal dengan orang-orang paji. Lenurat kemudian menikah dengan seorang gadis paji yang bernama Hadu Boleng Toniba Duli. Dari hasil perkawinan ini, menurunkan panduduk di perwakilan kecamatan Larantuka sekarang. Penduduk yang berasal dari turunan Lenurat ini dalam istilah lokalnya disebut “ Baipito“.
Watowele kemudian menikah dengan seorang bangsawan yang berasal dari kampung Maubesi Hasan kerajaan Wehali di Belu Selatan, bernama Pati Golo yang bertugas untuk mengontrol batas kerajaan yang berada di bagian utara. Pati Golo datang dengan perahu dan mendarat di Krong (Watu Krong) sebuah nama tempat di teluk Oka. Ia berjalan melintasi hutandan sampai di tempat Watowele, dilihatnya tungku api yang kosong dan debu arang yang menimbun. Guna menghindari dari bahaya, Pati Golo lalu memanjat pohon. Tidak beberapa lama Watowele kembali dari berburu, ia mempunyai firasat yang tajam bahwa tempatnya sudah tidak aman lagi, karena ada pendatang baru yang belum lagi menampakan dirinya.
Akhirnya tampak juga oleh Pati Golo di atas pohon, setelah berjanji ia tidak akan diapa-apakan maka turunlah Pati Golo dari persembunyiannya. Mereka hidupkan api bersama dan membakar binatang buruan Watowele. Kebetulan Pati Golo membawa sebotol arak. Pada waktu minum Watowele disuguhkan lebih banyak. Akibatnya ia mabuk dan tertidur.
Kesempatan ini digunakan oleh Pati Golo sebaik-baiknya. Ia mulai memotong kuku dan mencukur seluruh bulu pada bagian badan Watowele. Ia terkejut karena makhluk yang sedang ia hadapi adalah seorang wanita. Kemudian ia diberi pakaian. Akhirnya keduanya setuju untuk hidup bersama. Dari hasil perkawinan mereka memperoleh empat orang anak yang menurunkan raja-raja Larantuka dan anggota Pou Suku Lema. Putra-putra tersebut adalah : (1) Kudi Lelenbala yang kelak menurunkan penduduk asli kampung Waibalun; (2) Padu Ile Pook Wolo yang menurunkan raja-raja Larantuka; (3) Lahalapang Doroduli yang menurunkan penduduk asli kampung Balela; dan (4) Watowele Dole yang menurunkan Penduduk asli.
Selan penduduk asli, juga ada penduduk pendatang. Mereka berasal dari luar daerah yang dalam istilah lokalnya disebut “Tena Mao”  yang berarti yang datang dengan perahu. Kelompok migrant ini antara lain: (1) Sina Jawa adalah kelompok penduduk yang berasal dari Jawa, bertepatan dengan pelaksanaan politik ekspansi wilaya yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit (kesatria hipotesa). (2)                Serang Goran adalah migrant yang  berasal dari pulau Seram dan Kei pada gugusan kepulauan Maluku. Ketika itu pengaruh Ternate atau pengaruh Malaka menggejala terutama dalam bidang Linguistik, tanggapan atas hakekat mutlak Lera Wulan Tana Ekan dan bidang penyembahan  kepada hewan reptilian Naga (Orinbao, 1969;57). Pendatang dari Maluku ini menetap di daerah Lembata dan Pantar yang disebut Puken Lapan Bata. (3) Keroko Puken Lapan Bata diperkirakan terletak antara pulau pantar dan pulau Lembata bagian Timur. Sebab utama dari perpindahan ini adalah bencana air bah  “Bolebo-Lebo-Belena-Lena”. Perpindahan terjadi dalam abad XVI, pada masa Larantuka diperintah oleh raja Sira Napan. Raja kemudian mengangkat mereka menjadi kepala kelen, yaitu semua orang kampung Lohayong marga Bulanterang de Rosari. Dalam hubungan dengan roda pemerintahan merka berfungsi sebagai penasehat raja. Apabila terjadi kekosongan dalam tampuk pemerintahan yang disebabkan karena kematian seorang raja sedangkan anak yang sebagai penggantinya masih di bawah umur maka diperlukan jabatan sebagai pemangku raja, dimana kehormatan ini diberikan kepada kepala kelen. (4) Sina Mutin Malaka.adalah kelompok migrant yang datang bersamaan waktu dengan pengusiran misionaris Dominikan  dari Malaka tahun 1941 Portugis kalah dari Belanda di Malaka. Umat Katolik Malaka mengungsi ke Makasar dengan membawa agama dan kehidupan keagamaan. Tahun 1960 Portugis kalah Makasar, para pengungsi Malaka menyebar lagi sebagian dibawah pimpinan Aderin Lucan Da Crus dan saudagar Fransesco Vieira Fiqueiredo, menuju Selatan dan menyebar di Larantuka, Wureh dan Konga.

1.4.  Kepercayaan Asli
Kepercayaan asli orang Flores Timur (Lamaholot) disebut Lera Wulan Tanaekan sebenarnya mencerminkan persepsi dan interpretasi orang Lamaholot tentang alam semesta. Dalam pengalaman hidup mereka sehari-hari, langit dikenal sebagai tempat matahari dan bulan yang dapat menyebabkan musim hujan dan musim kering, kesuburan dan kemarau. Karena itu langit yang mereka sebut Kowa kelen “suatu bentangan raksasa” meruapakan tempat tinggal dari kekuasaan yang tidak terbatas. Pengalaman hidup mereka menumbuhkan persepsi dan interopretasi bahwa matahari dan bulan adalah sumber hujan dan panas yang diterima bumi sebagai kelimpahan atau berkat yang disimpan dalam kandungannya diolah dan kemudian melahirkan berbagai jenis benda yang dibutuhkan baik oleh manusia maupun oleh binatang. Fungsi yang komplementer dari langit dan bumi dipahami atas cara yang sama seperti mereka memahami peran seorang Bapak dan seorang Ibu dalam memberikan sebuah kehidupan baru ke dalam dunia. Langit berperan sebagai seorang Bapak yang memberikan kekuatan kehidupan, sedangkan bumi berperan sebagai seorang ibu yang hamil dan memberikan kehidupan. Persatuan antara langit dan bumi menghadirkan segala makluk di alam semesta ini. Dengan kata lain Lera/Rela Wulan Tanaekan ini mencerminkan pemikiran kosmologis orang Lamaholot di mana matahari, bulan dan bumi dianggap sebagai sumber dari segala kelimpahan yang diterima. Karena dibalik symbol ini mereka percaya akan adanya sesuatu kekuatan maha hebat atas segala gejala alam yang kelihatan. Tempat tinggal dari wujud tertinggi ini adalah teti kelen koleng rauwada. Teti berarti jauh di atas; kelen berarti langit; koleng berarti pangkal; dan auwada berarti sangat jauh. Secara harafiah sebutan ini berarti nun jauh di atas pangkal langit. Ungkapan ini menunjukkan bahwa tempat tinggal dari wujud tertinggi itu sangat jauh dari kehidupan sehari-hari orang Lamaholot/Larantuka.
Wujud Tertinggi dalam kepercayaan Lera Wulan Tanaekan ada karena na nimo di betook. Makna dari ungkapan ini berarti ia ada karena muncul sendiri (na berarti ia; nimo berarti sendiri; dan di betook berarti muncul). Orang Lamaholot/Larantuka percaya bahwa Lera wulan tanaekan adalah pencipta dari alam semesta atau dalam bahasa lokalnya disebut dengan istilah Ama Ratu Senurat Puken, Nini meten kenalat nimun yang berarti Bapak sang raja, sumber segala yang ada. Ungkapan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Lera Wulan adalah raja yang memerintah segalanya di bumi dari tempat tinggalnya yang jauh di atas awan-awan yang dalam dialek local disebut Ama Ratu Kelen Tukan, Lera Wulan Kowa Lolon  (Bapak raja yang tinggal di tengah-tengah angkasa, Lera Wulan di atas awan-awan).
Dalam hubungan dengan manusia, orang Lamaholot/Larantuka percaya bahwa Lera Wulan ini adalah pemurah dan penuh kasih (Lera Wulan Tanaean onen naen wai banu, matik naen selan tapo). Onen berarti hati; naen berarti nya; wai berarti air; matik padanan dari onen ; tapo berarti kelapa.  Secara bebas ungkapan ini dapat diartikan sebagai Lera Wulan Tanaekan hatinya bagaikan sebuah sumber yang senantiasa mengalirkan air dan minyak kelapa yang selalu dibutuhkan manusia Lamaholot. Lebih jelas lagi kemurahan wujud tertinggi bagi manusia itu dinyatakan dalam peribahasa local sebagai berikut:
 Ama Ratu hukun peten duga reha
Ama Ratu tali tulun pota hore
Ama Ratu prohon dike manange sare

Terjemahan bebasnya:

Bapak Raja ingatlah kami
Bapak Raja tolonglah kami
Bapak Raja kasihanilah.

Walaupun penuh kasih, orang lamaholot juga percaya bahwa Lera Wulan Tanaekan tidak mungkin tidak menjatuhkan hukuman bagi manusia bila mereka melanggar perintahnya. Perintah Lera Wulan Tanaekan itu sendiri tidak dinyatakan secara eksplisitapi menyata secara implicit dalam interaksi sosial antara manusia terlebih dalam tingkah laku keliru yang merusak hubungan baik antara manusia. Misalnya mencuri, memperkosa, membunuh, yang dapat menimbulkan konflik dianggap perbuatan yang melanggar perinta Lera Wulan Tanaekan. Hal ini senada dengan tulisan Paul Arndt (1951:161) sebagai berikut:  “Lera Wulan ne one hola noi ro. Kalau tite ata diken taa ata ahe si tana ekan daten nalan: temakajet, tipu ata ikene, ewa ata, peletung pelea ata, tekanata belaja tangge, nae onen hola noon tite; nae nein tite bararaket matajet” Terjemahan bebasnya: “Lera wulan itu dapat marah. Bila kita manusia berbuat salah misalnya mencuri, menipu orang, menuduh orang tanpa alas an, mengutuk orang tanpa alas an, merampas milik orang, ia akan marah dengan kita dan akan membuat kita sakit dan mati”.
Dari ungkapan di atas terlihat jelas bahwa perbuatan yang salah terhadap orang lain adalah perbuatan keliru yang ditujukan kepada orang tetapi dipercaya sebagai perbuatan yang merusak perintah wujud tertinggi. Karena itu perintah dari wujud tertinggi ialah keharmonisan dengan Yang Maha Tinggi lewat keharmonisan dengan sesame.
Keharmonisan dengan Lera Wulan yang dinyatakan dalam hubungan serasi dengan orang lain dalam ungkpan local disebut “one tou kirin ehan” (satu hati satu kata). Dari keharmonisan itu muncul berbagai tanggung jawab manusia antara lain: tanggung jawab sosial terhadap Lera Wulan secara menyata dalam ungkapan lokalnya disebut hungen baat tonga belolo (dijunjung tinggi dan dihormati). Tanggung jawab terhadap diri sendiri yang terungkap dalam hebo baha gere blolo atau pou potak towe loge wekin ebun (setiap orang harus menjaga kebersihan, keseatan, dan pertumbuhannya). Tanggung jawab terhadap anggota keluarga inti, orang lain, terhadap kampung halaman (lapak lewo ada nara) dan tanggung jawab terhadap lingkungan fisik.
    Di samping orang Lamaholot/Flores Timur memiliki kepercayaan asli terutama masyarakat tradisional juga mereka percaya pada agama-agama moderen seperti agama Katolik, agama Islam, Protestan, Hindu, dan Budha.  

1.5. Pemerintahan Adat
Masyarakat Flores Timur terutama sejak zaman dahulu telah mengenal sistem pemerintahan adat. Sistim pemeintahan adat yang diberlakukan itu dalam bahasa lokalnya disebut “Koten, Kelen, Hurit, Maran”. Dewan pemerintahan adat ini  mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, sebagai berikut:
a.  Koten, berkedudukan sebagai raja dan penguasa wilayah di mana ia menempati. Selain itu ia juga sebagai penguasa dalam bidang agama. Wujud nyata dari tugas dan perannya disimbolisasikan pada saat upacara penyembelihan hewan korban. Ketika itu, Koten bertindak sebagai pemegang kepala hewan (Pehen Koton).
b. Kelen, berkedudukan sebagai pendamping raja yang bertugas untuk mengatur  hubungan dengan daerah luar. Kelen juga bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan desa. Sebagai perwujudan dari tugas dan fungsinya, maka disimbolisasikan dalam upacara penyembelian heran korban Kelen bertugas  untuk memegang kaki hewan adat (Pehen lain redok ikun).
c. Hurit, bertugas untuk pengatur semua urusan yang berhubungan dengan adat-istiadat yang lebih bersifat religi dan profan. Untuk menunjukkan tugas dan fungsinya dalam kehidupan adat, maka disimbolisasikan dalam upacara penyembelihan hewan korban yaitu sebagai penyembeli (Belo wulin, Koton geto).
d.  Maran, sebagai pemimpin doa (tutu maring) baik sebelum upacara dimulai atau setelah ipacara selesai dilaksanakan. Dalam suatu upacara keagamaan sebelum hewan korban dibunuh terlebih dahulu diadakan pengucapan doa atau tutu maring. Dalam hal ini adalah tugas dan wewenang dari Maran. Ia mengucapkan doa yang mana setiap kata harus mendapat tekanan dan gaya tertentu.

1.6. Kehidupan sosial Masyarakat
Adanya sistem pelapisan sosial masyarakat menurut Soekanto dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu. Dasar alasan terbentuknya pelapisan sistim kemasyarakatan adalah karena kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang petinggi dalam masyarakat, dan juga dimungkinkan karena harta dalam batas-batas tertentu.  Di samping itu ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Hal ini dapat ditemukan dalam suatu organisasi formal (1990).  Demikian pula dalam kehidupan masyarakat Flores Timur, juga mengenal sistem pelapisan sosial sebagai berikut: (1) Tanah Alant atau Tuan Tanah, adalah kelompok tertinggi dalam kehidupan masyarakat Flores Timur. Kelompok ini biasanya diebut dengan istilah Ata Kabelen. Mereka mempunyai hak  menjadi pemimpin tradisional atau pemerintahan adapt, karena kelompok ini berasal dari marga Ile Jadi/kelompok teratas dari . masyarakat Flores Timur. (2)  Ata Ribu atau Rakyat Biasa, adalah kelompok masyarakat yang berasal dari suku-suku pendatang yang tidak mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Tuan Tanah. Kemungkinan bagi mereka sangat kecil untuk menjadi pemimpin  dalam pemerintahan adat, tetapi punya peluang yang cukup  sebagai pembantu dalam pelaksanaan pemerintahan adat.  (3) Kuna atau Hamba adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kedudukan yang terendah di antara masyarakat lainnya. Kelompok sosial ini  di mata masyarakat Flores Timur berkedudukan sebagai budak. Mereka bekerja atau mengabdi kepada atasan tanpa pamrih dan pula tanpa diberi upah. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok  yang kalah perang (tawanan), para pelanggar hukum adat yang dinilai sangat merugikan kepentingan umum dalam membina hubungan kekerabatan.

1.7. Sistim Kekerabatan
Masyarakat Lamaholot adalah masyarakat patriarkat (Patrilineal) yaitu cara menarik garis keturunan ke atas melalui ayah, selanjutnya ke atas lagi melalui ayah dari ayah dan seterusnya sampai kepada kakek moyang tertentu. Kelompok-kelompok keluarga yang karena ikatan darah menurut garis keturunan ayah membentuk keluarga suku atau lazimnya disebut suku.  Selanjutnya menurut Ernst Vatter, yang termasuk suku seorang laki-laki adalah ayah dan semua saudara laki-laki dan perempuan dari ayah tersebut. Ibu dan saudaranya tidak termasuk. Saudara-saudaranya termasuk sukunya dan istrinya tidak. Anak-anaknya sendiri dan anak-anak dari saudara laki-laki termasuk sukunya, tetapi anak dari saudaranya perempuan tidak termasuk suku. (1984 : 74-75). Masyarakat Flores Timur merasa suku mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis. Dalam setiap suku dikepalai oleh seorang kepala suku. Kepala suku mempunyai otoritas tertentu baik ke dalam maupun ke luar, terutama hal-hal yang berhubungan dengan urusan adat perkawinan, kelahiran, kematian, belis  dan urusan lain yang sejenisnya. Kepala suku biasanya dipilih dari seorang anak laki-laki atau kakak sulung laki-laki dalam keluarga suku itu (turun-temurun). Setelah ia dipilih oleh keluarga suku, ia mempunyai hak dan kewajiban untuk mendiami rumah suku atau rumah adat.

1.8. Pembentukan Keluarga
Adat perkawinan di Flores Timur ditentukan oleh suku. Adat perkawinan  mengikat hak individu dalam menentukan pasangan hidupnya. Adat perkawinan menggariskan bahwa seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita yang berasal dari  suku yang sama atau masih mempunyai hubungan darah (Kle). Bagi masyarakat Lamaholot suku pemberi gadis disebut “Belake” dan suku penerima gadis disebut “Opu”. Suku-suku yang diperkenankan saling memberi dan menerima gadis (resiprosity) disebut “Muron Wana“. Proses saling memberi dan menerima (take and give) dalam adat perkawinan orang Flores Timur diikuti dengan suatu proses yang lazim disebut adat belis, di mana pihak keluarga perempuan menyerahkan anak wanitanya kepada keluarga pria dan keluarga pria wajib menyerahkan sejumlah mahar atau beli berupa gading gajah (bala) kepada pihak keluarga perempuan. Besar kecilnya ukuran gading dan banyaknya jumlah gading tergantung pada status sosial (jati diri) dari keluarga yang bersangkutan. Semakin tinggi status sosial seseorang tentu semakin besar dan semakin banyak jumlahnya belis yang harus diberikan  kepada keluarga wanita. Karena sejumlah belis yang diberikan tentunya mempunyai nilai tertentu antara lain (1) kepuasan emosi, (2)  manfaat ekonomi dan rasa aman, (3) pemupukan dan pengembangan diri, (4)  identifikasi dengan orang lain, (5) ikatan dan kelangsungan keluarga, (6)  beban emosi, (7) beban ekonomi, (8)  keterbatasan gerak, (9)  tuntutan jasmaniah, (10)  beban keluarga, (11) hubungan antara saudara kandung, (12)  preferensi jenis kelamin, (13) kelangsungan hidup, dan (14)  beban kehidupan sosial.   

1.9. Mata Pencaharian
Setelah masyarakat Flores Timur melepaskan diri dari pola kehidupan mengumpulkan hasil alam (food gathering), berburuh dan meramu, kemudian  mulai hidup menetap (bertani dan beternak). Pola hidup bertani masih dipertahankan hingga sekarang ini. Sehingga tidaklah berlebihan kalau dibilang masyarakat Flores Timur adalah masyarakat petani ladang. Kehidupan mereka sangat tergantung pada hasil ladang. Ladang adalah sebuah bejana tanah liat yang diandalkan bagi kehidupan masyarakat Flores Timur sejak tempo dulu hingga sekarang ini. Teknologi yang digunakan dalam bertani pun masih bersifat tradisional yaitu dengan membabat hutan dan membakarnya. Kapak, parang, cangkul dan tofa menjadi andalan dalam menglah lahan pertanian. Pengolahan lahan biasanya dilakukan secara bersama-sama dalam suatu hamparan yang luas (etang), lalu dibagi-bagi kepada orang perorangan (newa). Setiap aktivitas dalam sistem berladang mulai dari proses membuka kebun baru (Tine man), menanam Tonu Wujo besi pare (sikat tubak), kegiatan menyiang rumput dan memelihara tanaman (Ola hiin), memetik hasil panen (geta geret), menyimpan hasil panen (neka penepen) selalu diikuti dengan upacara, seperti upacara towe loge untuk menghormati Tonu Wujo besi pare atau dewi padi.

1.10. Situasi Kesenian
Seni adalah harmoni keseimbangan dasariah antara segala kenyataan di bumi ini. Seni merupakan suatu yang indah dan berkarakteristik objektif  sekaligus sebagai subjektif. Ia berkarakter demikian karena mengandung gerak jiwa atau gerak hidup yang diberi nilai estetis sehingga menjadi aktif dan membebaskan, untuk kemudian melahirkan bentuk-bentuk simbolis seni atau karya seni. Karya seni dalam hal ini, seni musik (seperti gong, gendang, okulele, dan gambus), seni suara (seperti, Oha, Berasi, dan pantun), seni tari (seperti soka alo, naming, tode bala, hureng peung, zakalele, hedung), dan seni karya (seperti anyam, tenun ikat, sulam) sebagai eksternalisasi simbolis dari seluruh pengalaman keindahan, yang lahir dari kontemplasi internal seniman atas alam semesta, merupakan corong bagi  selaksa nilai yang belum sepenuhnya memasyarakat. Dengan tanpa mengabaikan fungsinya sebagai ekspresi keindahan, seni juga menjadi agen transformasi bagi manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berdasarkan pengamatan (observasi), pertunjukkan  karya seni seperti yang diutarakan di atas, bagi orang Flores Timur sejak tempoh dulu selalu berhubungan dengan upacara ritual yang sekaligus sebagai hiburan.  Tempat berlangsungnya pertunjukkan atau pementasan disesuaikan dengan tempat di mana dilaksanakan upacara  seperti upacara kelahiran, pendewasaan, perkawinan, kematian, dan upacara syukuran sesudah panen. Pelaksanaannya cenderung bersifat komunal, massal tanpa batas waktu dan terjadi secara spontanitas.  
Karya seni khas orang Flores Timur yang masih hidup dan masih dipertahankan serta diwariskan kepada anak cucu hingga saat ini. Karena itu hasil karya seni harus di difungsikan dan dimanfaatkan agar anak-anak  tidak kehilangan jati dirinya. Dan juga semua aktivitas yang diwariskan kepada anak cucu menjadi bekal dan sekaligus sebagai bahan pertimbangan dalam mengikuti berbagai upacara siklus hidup. Sebab seni merupakan ekspresi kehidupan dan perkembangan masyarakat manusia . Semua manusia, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang, seturut kodratnya berkembang ke arah kesempurnaan melalui dan dalam karya-karya seninya. Dari sebab itu ia harus diselamatkan atau dilestarikan.


1.11. Sejarah Kerajaan Larantuka
a. Pembentukan Kerajaan Larantuka         
Wilayah Flores Timur terutama Larantuka mulanya hanya dihuni sejumlah penduduk asli (Ile Jadi), dan kemudian  datanglah para migran (suku bangsa pendatang) ke wilayah ini. Masing-masing mereka mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri. Mereka selalu hidup berkelompok dan punya cara hidup sendiri-sendiri, karena mereka belum beradabtasi satu sama lainnya. Kendatipun demikian, lama kelamaan kedua kelompok ini pun mulai hidup berdampingan dalam suatu kesatuan yang diikat oleh darah (genealogis).  
Menurut informan bahwa kelompok terkecil yang dibangun oleh orang Flores Timur disebut keluarga. Gabungan dari keluarga karena ikatan darah disebut suku.  Setiap keluarga suku biasanya menetap dalam satu wilayah perkampungan yang lazimnya disebut “Riang”. Suku-suku yang telah dibentuk dipimpin oleh seorang kepala suku, yang mempunyai otoritas yang tingga dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam kehidupan kesukuan. Perkampungan sebagai suatu wilayah adat, memiliki rakyat, memiliki kedaulatan, dan memiliki tujuan tertentu, maka para kepala suku memilih seorang pemimpin untuk memimpin wilayah perkampungan (riang) yang disebut  “Kabelen Lewo” yang berarti kepala kampung atau pembesar dalam kampung. Kabelen Lewo sebagai pemimpin tentunya bertanggungjawab penuh terhadap perubahan dan perkembangan wilayah yang dipimpinnya. Karena Kabelen Lewo adalah embrio terbentuknya pemerintahan tradisional di wilayah Flores Timur.
Koten menjelaskan di seluruh Flores Timur umumnya dan Larantuka khususnya, sejak dahulu telah ada susunan masyarakat dan susunan pemerintahan asli. Susunan masyarakat didasarkan atas daerah dan pimpinan pemerintahan berada dalam tangan segolong orang yang secara genealogis dianggap sebagai penduduk asli daerah tersebut, (1973:12). Karena perkembangan dan perubahan, serta kebutuhan, maka himpunan wilayah perkampungan  membentuk sebuah wilayah kerajaan. Salah satu kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di wilayah Flores Timur adalah kerajaan Larantuka
Menurut ceritera sejarah peletak dasar  berdirinya kerajaan Larantuka adalah Pati Galo. Ia selalu dikisahkan berasal dari kerajaan Wehali (Belu Selatan). Sehingga besar kemungkinan Pati Golo adalah utusan kerajaan Wehali untuk memerintah di batas wilayah kekuasaan kerajaan Wehali yaitu  di Larantuka. Hal ini dapat kita perhatikan dalam ungkapan yang berhubungan keberadaan raja Pati Golo sebagai berikut: “Raja Ata Timu Beto, Tua Ata Timu Dai” yang berati “ Raja Timor,Tuang datang dari Timor”.
Nama Pati Golo selalau ditafsirkan: menurut versi orang Flores Timur  “Pati bergolok atau Pati yang memakai golok. Lebih lanjut  Koten menjelaskan kata Pati (sebenarnya dari kata pati) menunjukan adanya unsur pengaruh Jawa (bahasa Jawa Kuno) yang berarti  “Mangkubumi”. Hal mengenai unsur jawa harus kita kaitkan dengan cerita Pati Golo menurut M. Wettenbroek dalam tulisannya ”Geschiedenis Van De Solor Eilande, Floresan Timor Vasaf De Oliste tijden tot circa 1850, yang disitasi oleh  Parera sebagai berikut: “Pada masa  dahulu kala (oeroude tijden), di Wehali di Timor ada dua orang bersaudara yaitu seorang perempuan bernama Buikema Herawadan, dan seorang laki-laki bernama Pati Golo Arakian. Adapun Pati Golo ini kerjanya menyadap tuak. Pada suatu hari hasil tuaknya makin berkurang (dicurigai bahwa dicuri orang, ternyata tidak). Untuk itu suatu siang Ia memanjat pohon tuak dan bersembunyi. Tengah malam datang seekor burung raksasa. Pati Golo mengikat dirinya pada kaki burung itu, lalu terbang menuju pulau jawa. Sampai di sana burung itu hinggap dipohon waringin, dekat kebun buah-buahan. Ia melihat buah-buahan dan memetiknya, akibatnya ia ditangkap.Tetapi ternyata ia adalah orang yang baik-baik dan diangkat menjadi anak. Ia lalu kawin dan mendapat dua anak yang bernama Pusi dan Goa. Pada suatu waktu ia duduk membersihkan hulu pisaunya yang terbuat dari kayu cendana, serbuknya dibakar keluar bau harum. Akhirnya Pati Golo ditugaskan ke Timor untuk mengambil kayu cendana” (197:62).
Selanjutnya mitos Lamaholot mengisahkan bahwa Pati Golo kemudian menikah dengan seorang putri asli Larantuka bernama Watuwele. Dari hasil perkawinan mendapat empat orang anak, yaitu:
1.    Kudi Lelenbala, yang kemudian menetap di Balom Lamabolen, kelak menurunkan penduduk asli kampung Waibalun.
2.    Padu Ile Pook Wolo yang kelak menurunkan raja-raja Larantuka.
3.    Lahalapang Doroduli yang menetap di Lela lama diken, kelak menurunkan penduduk asli Balela.
4.    Watuwele Dole yang menetap di Werang lama Hadun, kelak menurunkan penduduk asli kampung Lawerang.
Pengganti Pati Golo ketika itu adalah putranya Padu Ile Pook wolo. Padu Ile dan beberapa keturunannya sempat memindahkan pusat kerajaan ke suatu tempat di gunung Mandiri, yang bernama Watu Wele Dole Tabu Wela Mole, disingkat woto atau  kampung Raja.
Sekitar abad ke XIV Padu Ile diganti oleh Sira Demon(g) Pagomolan(g). Pada masa pemerintahan raja Sira Demon kerajaan Larantuka berada dibawah pengaruh Majapahit. Pengaruh kekuasaan Majapahit pada waktu itu sampai juga di Larantuka. Slamet Muljono menyebutkan bahwa armada majapahit menyerang Banda, Seran, Larantuka, Sumbawa, Selaprang, Bali dan Blambangan (1965:47). Demikian juga Piet Petu dalam buku Nusa Nipa menyebutkan bahwa Nusa Solor dijadikan pusat pertahanan Djawa Majapahit yang kemudian dialihkan kepesisir Nusa Nipa yakni Lewonamang Larantuka. (1969:24). Raja Sira Demon Pago Malang oleh Majapahit diberikan kuasa penuh untuk membina pusat pertahanan Majapahit di daerah Flores Timur, dalam rangaka memperkuat wilayah maritin kerajaan Majapahit sebagai salah satu persyaratan dalam melaksanakan program politik persatuan nusantara gagasan Pati Gajah  Mada tahun 1258-1278 atau tahun 1336-1357 masehi.
Ketika Majapahit runtuh daerah-daerah taklukannya satu persatu mulai melepaskan diri dan berdiri sendiri. Demikian pula halnya dengan Kerajaan Larantuka, Sira Demong merasa tidak terikat lagi dengan Majapahit, mulai mempersiapkan diri untuk melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya. Pekerjaan pertama yang segera ia lakukan ialah berusaha mempersatukan kerajaan-kerajaan  kecil disekitarnya.menjadi kerajaan Larantuka, dengan cara damai raja Sira Demon mengundang raja-raja dari pulau-pulau di sekitarnya dalam suatu pesta. Pada kesempatan itu ia membagi-bagikan potongan daging kepada raja-raja yang turut ambil bagian dalam diudangitu. Setelah itu raja Sira Demong mengatakan “barang siapa yang telah menerima bagiannya (potongan daging), maka harus takluk dibawah kekuasaannya. Di samping itu, ia juga menggunakan cara kekerasan bila ada yang melawan atau menentannya. Dengan cara-cara inilah membuat namanya semakin terkenal dan lengkap yaitu  ‘Raja Sira Demong Pago Molang’. Ia adalah  raja ketiga dari dinasti Larantuka, dengan wilayah taklukannya,  meliputi:  
1. Pulau Lembata        : Raja Lewoleba – Raja Lamalera
2. Pulau Adonara        : raja Tanah Boleng- Horowura
3. Pulau Solor            : Raja Pamakayo- Lewolein
4. Flores Timur Daratan    : Raja Mudakeputu, Lewoingu, Lewo Tobi.
Setelah kerajaan-kerajaan kecil ini ditaklukan oleh kerajaan Larantuka, maka wilayah taklukan dirobah namanya menjadi wilayah Kakang atau lazim disebut  (kakang lewo pulo), meliputi:
1.    Wilayah kakang Lewotobi, Membawahi 17 wilayah perkampungan.
2.    Wilayah kakang Lewoingu, membawahi 37 wilayah perkampungan.
3.    Wilayah kakang Wolo membawahi 11 wilayah perkampungan.
4.    Wilayah kakang Mudakeputu, membawahi 8 wilayah perkampungan.
5.    Wilayah kakang Lewolein, membawahi 8 wilayah perkampungan.
6.    Wilayah kakang Pamakayo, membawahi 18 wilayah perkampungan.
7.    Wilayah kakang Horohora, membawahi 44 wilayah perkampungan.
8.    Wilayah kakang Tanah Boleng, membawahi 25 wilayah perkampungan.
9.    Wilayah kakang Lewoleba, membawahi 17 wilayah perkampungan.
10.    Wilayah kakang Lamalera, membawahi 26 wilayah perkampungan.
Masing-masing Kakang dipimpin oleh seorang yang bergelar Kakang. Secara otonom seorang Kakang dapat mengatur rumah tangganya sendiri, namun tetap takluk kepada raja Larantuka,  wajib memberikan bala batuan tentara bila kerajaan induk menghadapi peperangan, dan wajib memberikan upeti kepada raja Larantuka.
Dalam suatu wilayah Kakang terdapat sejumlah (10-40-an) perkampungan yang diperentahi oleh seorang Kepala Kampung (Kabelen Lewo).  Kabelen Lewo dibantu oleh dewan adat (Pou Suku Lema) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala suku.
Kewibawaan raja demikian besar, dan tata pemerintahan sudah ditata secara cukup baik sehingga bila terjadi peperangan antara suku atau kampung dikawasan kerajaan Larantuka, raja dengan mudah menghentikan peperangan itu, hanya dengan mengirimkan bendera putih, pratanda perang harus segera dihentikan. Bila masih ada yang melanggar, maka yang melanggar akan dipekerjakan sebagai budak raja. Karena raja mempunyai kekuasaan atas hidup dan mati.

b. Raja-raja yang Memerintah di Kerajaan Larantuka
    Kerajaan Larantuka termasuk salah satu kerajaan yang tua di Nusa Tenggara Timur. Menurut catatan Carolus Kalesar usia kerajaan Larantuka sekitar 700 tahun. Kerajaan pernah dipengaruhi dan ditaklukan oleh kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke XIV dan awal abad ke XV. Pada waktu itu kerajaan Larantuka mengalami proses pergantian kekuasaan dari raja Padu Ile kepada Sira Demong Pagamolang.  Pada masa pemerintahan raja Sira Demong kerajaan Larantuka berada dibawah pengaruh Majapahit. Ketika raja Sira Demong Pagamolang memerintah nampaknya pengaruh Majapahit cukup berarti, terutama dalam bidang pemerintahan yang mengikuti pola atau struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha di Jawa terutama kerajaan Majapahit. Model atau pola ini kemudian disesuaikan situasi dan kondisi lokal Larantuka. Orang Flores Timur (Larantuka) pada waktun itu sudah mengenal adanya “Raja, Pou Suku Lema, dan Kakang Lewo Pulo” Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, agama, dan adapt. Pou (pu/mpu) suku lema merupakan dewan mahkota yang memegang peranan sebagai penasehat raja. Sedangkan Kakang adalah raja-raja kecil yang memerintah suatu wilayah Kekangan yang otonom, tetapi tetap berkewajiban untuk memberikan upeti kepada kerajaan induk. Artinya kerajaan pusat menjalankan fungsi kontrolnya hanya melalui upeti.
    Keberadaan kerajaan Larantuka yang demikian tua, melahirkan raja-raja yang pernah berkarya/memerintah di kerajaan ini, adalah sebagai berikut:
1.    “Raja” Pati Golo Arkyan adalah raja pertama yang kawin dengan puteri Ile Jadi (Puteri Watuwelw);
2.    Raja Padu Ile;
3.    Raja Sira Demong Pagamolang;
4.    Raja Mau Boli;
5.    Raja Sira Paing;
6.    Raja Sira lanang;
7.    Raja Sira Napang;
8.    Raja Igo;
9.    Raja Ado Wuring;
10.    Raja Ado Bala;
11.    Raja Ola Ado Bala adalah raja pertama yang menerima pengaruh Portugis, sehingga pada tahun 1645 ia dipermandikan menjadi Katolik dengan nama “Don Fransisco Diaz Viera de Godinho/DVG”;
12.    Raja Pati Golo dengan nama baptisnya “Don Gaspar I  Diaz Viera de Godinho/DVG;
13.    Raja Kuaka Douwo Ama dengan nama baptisnya Don Manuel Diaz Viera de Godinho/DVG. Ia memerintah dalam usia masih sangat kecil, maka ia didampingi/diwakili oleh Raja Kune dengan nama baptisnya Don Contantino Blangterang de Rosari.
14.    Raja Pandai I dengan nama baptisnya Don Andre I Diaz Viera de Godinho/DVG;
15.    Raja Don Laurenso I Diaz Viera de Godinho/DVG;
16.    Raja Don Andre Diaz Viera de Godinho/DVG II;
17.    Raja Patigolo Seberang dengan nama babtisnya Raja Don Gaspar II Diaz Viera de Godinho/DVG, yang memerintah dari tahun 1861-1877.
18.    Raja Ence dengan nama baptisnya Don Dominggo Diaz Viera de Godinho/DVG memerintah dari tahun 1877-1887;
19.    Raja Usi Neno dengan nama baptisnya Don Lorenzo II, yang memerintah dari tahun 1887-1904. Ia kemudian ditangkap Belanda dan dibuang ke Kupang, Batavia, dan kemudian ke Yogya. Ia meninggal dunia tahun 1910 di Yogya dan dikuburkan di Yogya.
20.    Raja Lui Blanterang de Rosari yangmemerintah dari tahun 1905-1906.
21.    Triumvirat (tiga raja): Payong Blanterang de Rosari, Emanuel Monteiro, dan Yohanes Blanterang de Rosari. Mereka memerintah dari tahun 1906-1912.
22.    Raja Don Servus memerintah dari tahun 1912. Ia dibantu oleh Antonius Blanterang de Rosary mulai melaksanakan tugasnya 1919-1937.
23.    Raja Nua Usi dengan nama baptisnya Don Lorenzo III Diaz Viera de Godinho/DVG. Ia memerintah dari tahun 1937-1962. Ia adalah raja terakhir dari kerajaan Larantuka.


2. Penetrasi Bangsa Portugis dan Belanda di Kerajaan Larantuka
2.1. Masa Portugis
Pada ahkir abad ke 15 dan awal abad ke 16, merupakan zaman pelayaran dan perdagangan  yang ramai antara dunia Barat (Eropa) dengan dunia Timur  (Asia). Ramainya pelayaran  dan perdagangan karena didukung oleh penemuan yang baru berupa alat- alat perlengapan pelayaran. Bangsa Eropa berlomba-lomba mencari jalan kesumber penghasil rempah-rempah dan barang berharga lainnya yang berasal dari dunia Timur, yang telah dikenal oleh Negara Eropa, ketiga konstatinopel masih ramai sebagai pusat perdagangan. Pada periode ini juga dikenal dengan zaman penjelajahan samudra.
Kedatangan Portugis ke Asia umumnya dan Indonesia khususnya berdasarkan perjanjian tordesillas yakni pembagian garis demarkasi antara Portugis dan Spanyol, oleh Paus Aleksander VI. Melalui Bull Intercaetera tanggal 11 Mei 1493. Spanyol diisinkan menduduki wilayah yang terbentang antara 300 mil disebelah Barat kepulauan Asores dan kepulauan tanjung verde, sedangkan daerah sebelah Timur diduduki Portugis. Pada tanggal 7 Juni 1494 perjanjian Tordesilas  diganti dengan perjnjian Saragosa. Inti dari perjanjian ini adalah membagi dunia yang sebelum dikenal oleh Negara-negara Eropa di antara dua kekuasaan yakni Spanyol dan Portugis.
Kolonialisme Portugis datang ke Pulau Timor pada tanggal 9 Juli 1514. namun Portugis baru mempunyai kedudukan yang tetap baru tahun 1561 ketika 3 orang misionaris (P. Simao das Cagas, P. Antonio da Cruz OP, dan Bruder Alexio) dikirim dari Malaka ke Pulau Solor. Ketika itu mereka harus berhadapan dengan serangan raja-raja lokal yang bersekutu dengan kekuatan Islam dari Jawa, Bugis, Makasar. Untuk membendung kekuatan Portugis, maka dibangun benteng Henricus  (Fort Henriques) di Solor tepat di Lohayong tahun 1566, sebagai pusat kegiatan Portugis. Pembangunan benteng tersebut mendapat sumbangan dana para pedagang cendana dari Makao. Sedangkan benteng di Ende dibangun tahun 1595.  Dari pusat kedudukan di Solor Portugis memperluas wilayah kekuasaannya ke Pulau Flores bagian Timur, Flores bagian Tengah, dan Pulau Timor.  Di wilayah Flores bagian Timur Portugis mengadakan kontrak dengan daerah sekitarnya, yaitu Larantuka. Larantuka yang mulanya hanya dijadikan sebagai tempat persinggahan akhirnya berubah  menjadi pusat aktivitas Portugis terutama setelah setelah Solor jatu ketangan Belanda.
Proses kekuasaan bangsa Portugis di Larantuka dengan terlebih dahulu mempelajari adat-istiadat setempat. Di sana ada kesamaan bahwa raja sebagai pemegang kekuasaan  pemerentahan, agama dan adat. Karena ada kemiripan, maka Portugis mulai melakukan kontak kerjasama dengan penguasa setempat. Wujud kerjasama mulai terlitas ketika pemuda bangsawan Joan Resiona dikirim ke Malaka untuk dididik.
Dalam upaya menguasai Larantuka seluruhnya Portugis menjalankan aktivitas sebagai berikut: (1) Penyebaran agama katholik dengan perantaraan  Joan Resiona. Raja Ola Adobola kemudian dipermandikan menjadi katholik dengan nama baptisan Don Konstantino DVG. Setelah raja dipermandikan menyusul keluarga raja dan rakyatnya. Raja Don Konstatino DVG memerintah dari tahun 1635-1661. Agama Katolik dijadikan sebagai agama Negara/kerajaan. (2) Pendidikan, Portugis mengirimkan seorang putera Ata Kabelen ke Malaka untuk dididik menurut cara portugis. Tujuan kelak dia menjadi pewarata ajaran agama dikalangan sendiri. Namun setelah itu ia  murtat kembali L. Lame Uran, 9189 ; 39 ).  Juga Portugis membuka seminari untuk awam katholik untuk mendidik guru calon agama dan calon imam, setingkat sekolah dasar, (Munskens, 1974:385).  (3) Perkawinan; para serdadu dan para pedagang melakukan hubungan perkawinan dengan penduduk setempat, demi mempererat hubungan kerjasama di antara mereka. Penduduk turunan portugis di Nusa Tengara Timur dan larantuka khususnya disebut Topasses atau Portugis hitam. Suku bangsa turunan di Larantuka seperti Da Silva, Da Santo, Da Ornai dan Da Costa. (4) Sosial-budaya, nampak dalam penggunaan nama seperti Riberu, Fernandes, Manteiro, Carvalo, da Santo,da Silva, da Costa, dan da Gomes. Sedangkan nama keluarga raja diberikan warna tersendiri yaitu Dias Vieyra Digondinho (DVG). Penggunaan bahasa terutama bagi penduduk di Larantuka, Wureh dan Konga Malayu, Portugis, (Munskens, 1974). Kesenian yang masih dipertahankan adalah Muro Ae yaitu tarian menghormati keluarga wanita pada waktu pesta perkawinan.  (5) Bidang Pemerintahan di mana struktur pemerintahan local tetap dipertahankan kendatipun di sana sini ada penambahan dan perubahan. Kekuasaan raja sebagai pemimpin politik, agama, dan adat tetap dipertahankan. Penggunaan gelar di depan nama raja “Don dan Dona”
Setelah pusat pertahanan Portugis dibenteng Lohayong jatuh ke tangan Belanda, keadaan perkembangan misi katholik senantiasa mengalami gangguan baik dari bangsa Belanda maupun dari para pedagang Islam. Sedang pada sisi lain terjadi krisis wibawa pemerintahan Portugis dan gereja. Krisi wibawa pegawai pemerintahan dan para imam terjadi karena sulit membedakan urusan agama, perdagangan dan urusan poloitik pemerintah. Urusan pemerintahan, dijabat oleh seorang gubenur sedangkan urusan agama dilaksanakan oleh para imam, pemerintahan hanya membantu jika ada musuh menyerang.
Penduduk Larantuka pada dasarnya sudah menerima ajaran katholik dan tetap dipertahankan dengan baik. Namun akibat pemisahan antaraurusan agama dan pemerintahan, maka para imam sesuai perutusan dengan teguh mewartakan ajaran agama katholik. Kaum awam Portugis yang bertindak sewenang-wenang dengan penduduk setempat, membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah mulai hilang.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka tahun 1701, pemerintah pusat di Lisabon mengirim seorang gubernur jenderal, untuk pertama kali ke Solor. Gubernur jenderal silih berganti, tetapi kesulitan susah diatasi ( L. Lame Uran ,1989 : 75 ).
Oleh karena perkembangan misi Solor semakin tidak menentuh,  maka sejak tahun 1701 Liufao mengalami perkembangan, menjadi satu-satunya misi katholik yang membawahi pulau Timor, Flores dan Solor. Keadaan perkembangan agama semakin suram ketika tahun 1834 para pastor Dominikan ditarik dari jajahan Portugis.
Ketika  perselisihan antara Portugis dengan  Belanda, terus berlanjut dan saling merebut kekuasaan. Perjanjian antara kedua pihak terus dilaksanakan agar dapat menghindari pertikaian. Vriens lebih lanjut mengemukakan tantang perselisihan menyangkut kekuasaan Portugis dengan Belanda sebagai berikut : Batas daerah kekuasaan antara Belanda dengan Portugis memang tidak jelas. Antara dua kekuasaan tersebut belum diadakan perjanjian mengenai batas jajahan mareka. Barang tentu hal demikian yang menyebabkan perselisihan. Maka di Dilli pada tahun 1851 betemulah komisi Belanda dan Potugis untuk menertibkan batas itu. Dengan persetujuan yang dicapai itu antara lain ditentukan bahwa sejak bulan Desember Flores sudah lepas dari pengaruh Portugis dan masuk lingkungan Belanda. ( Vriens, 1972; 103 ).



2.2.Masa Belanda
Persaingan Portugis dan Belanda yang berlatar belakang perebutan kekuasaan pada daerah pehanghasil barang dagangan terjadi di mana-mana.  Tahun 1613 VOC mengirimkan 4 armada dibawah pimpinan Apollonius Scate dan dibantu armada Buton berhasil merebut benteng Lohayong (Solor). VOC menghabiskan separo amunisi yang dibawa untuk menembak benteng Solor 800 kali. Portugis akhirnya menyerah.  Syarat penyerahan benteng Solor, segala barang boleh dibawah dengan meninggalkan separo barang dagangan  dan seluruh perbekalan perang. Ada 1000 orang termasuk 80 orang Portugis, 450 orang peranakan meninggalkan benteng. Tujuan mereka kebanyakan ke Malaka. Tetapi beberapa orang Portugis menuju Larantuka, antara lain: P. Agustinho da Magdalena, (Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, I, 1974).
Solor diduduki VOC dan untuk memperkuat diri ditempatkan 20 orang pasukan. Sedangkan untuk memperkuat diri VOC menjalin hubungan persahabtan dengan 6 raja di Flores Timur: Lohayong, Lamakera, Serbiti, Lamahala, Terong, dan Adonara.  Kemudian kerajaan Serbiti hapus tinggal 5 kerajaan yang dikenal sebagai raja lima pantai. Setelah itu VOC meneruskan pelayarannya menuju Kupang. Tahun 1646 benteng Solor jatuh ke tangan VOC dan dijadikan pusat kedudukan VOC di NTT. Sejak saat itu terjadi intensifikasi perluasan kekuasaan, perluasan monopoli dagang dan penyebaran agama Katolik dan Kristen Protestan. Persaingan kekuasaan Portugis dan VOC ikut mewarnai perlawanan perjuang local sampai tahun 1810 ketika VOC di NTT diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Upaya Portugis untuk mempertahankan daerah-daerah, yang dikuasainya semakin mendapat tekanan dari Belanda. Akibatnya kedua belah pihak harus  penandatanganan konsep traktat Dilli 1851, kerajaan Larantukapun diserahkan kepada Belanda. Pada waktu itu kerajaan Larantuka dibawa pemerintahan Don Andre DVG. Pada tanggal 16 desember 1851 terjadi penyerahan Larantuka dari pemerintahan Portugis kepada pemerintahan Belanda. Upacara penyerahan dan penandatanganan kontrak dilakukan di atas kapal perang Belanda “Merapi”, dengan disaksikan oleh: pihak Portugis: Alfredo Benedicto Caecaerio Da Silva, pihak Belanda: H.J. Van Maddeghom adalah komandan kapal Merapi, pihak Larantuka: Don Gaspar DVD II yang mewaklili  kakanya raja Don Andre DVD.
 Kemudian pada tanggal 19 Desember 1851 mendaratlah seorang Gezagbhebber  dan komandan militer Belanda yang pertama di Larantuka, pada tahun 1852 mareka mendirikan sebuah benteng di Larantuka (Posto) sebagai pusat pemerentahan militer sekaligus sebagai pos pengawasan atas seluruh wilayah.
Pada tanggal 31 Maret 1861 raja Don Andra DVG meninggal dunia, diganti oleh saudaranya raja Don Gaspar DVG II. Ia dilantik oleh Residen Broks tanggal 29 Juni 1877.  Pada saat pelantikan dibuatkan perjanjian ataupun sumpah raja Larantuka kepada pemerintah Belanda, sebagai berikut: (1) Wajib memberikan hormat.bakti, bantuan kepada gubernur Nederland Hindia Belanda yang telah memeberikan kuasa kepada kami; (2) Akan mentaati semua perjanjian yang telah dibuat oleh kami dengan gubernur Nederland Hindia; (3) Akan mendahulukan kewajiban rakyat; (4) Akan menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya; (5) Akan memelihara perdamaian dengan daerah-daerah lain; (6) Akan memberantas hal perampokan; (7) Akan memperhatikan hal perbudakan; (8) Akan mengatasi hal persoalan tanah; (9) Akan memperhatikan hal usaha perseorangan; (10) Akan memperhatikan hal perdagangan; (11) Akan menjaga pelayaran kapal dan perahu; (12) Menolong kapal yang karam dan menyimpan barang yang terdampar; (13) Tidakl mencampuri permufakatan kerajaan lain; (14) Tiadak akan memberi tanah kepada orang kulit putih atau orang asing dari tanah barang serta membiarkan mareka berdiam pada tempat-tempat pelabuhan kerajaan Larantuka kecuali yang sudah memberitahu atau mendapat izin dari pemerintah negeri. Kalau orang tinggal pada tempat pelabuhan kerajaan lebih dari tiga bulan, harus dilaporkan kepada pemerintah negeri.
Dengan demikian kerajaan Larantuka dan Adonara tetap diakuinya hak otonomnya secara sah untuk menjalankan pemerintahannya atas dasar adat. Korteverklaring ini ditandatangani oleh raja Larantuka Don Gaspar DVG II pada tanggal 20 juni 1861. Penguasaan Belanda atas kerajaan Larantuka, telah melahirkan sebuah bentuk pemerintahan baru di wilayah Flores Timur yang disebut dengan Swapraja Larantuka.
Istilah Swapraja adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda selfbestuur di mana pada masa pemerintahan Hindia Belanda Selfbetstuur lebih ditujukan kepada wilayah-wilayah yang oleh pemerintah Hindia Belanda diakuai kekuasaannya untuk memerintah sendiri menurut perjanjian politik (Lange Concract) dan corte verklaring. Sedangkan daerah berpemerintahan sendiri disebut Selfbestuurlande lanschappen (Swapraja).
Untuk Swapraja Larantuka berlaku korte verklaring ditetapkan dalam “staats bland Hindia Belanda tahun 1973 no. 529 “ kemudian oleh pemerintahan Belanda ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah Hindia Belanda dengan “Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 14 hari bulan September 1938 no. 29“ (Koten, 1973:65). Dengan adanya peraturan ini maka kekuasaan dan kemutlakan raja dibatasi dalam menjalankan tugas raja  tidak boleh bertindak diluar peraturan yang telah digariskan pemeritahan Hindia Belanda.
 Bentuk pemerintahan ciptaan Belanda adalah monarchi konstitusional atau kerajaan yang berundang-undang dasar. Dengan susunan Pemerintah Swapraja Larantuka sebagai berikut: Gubernur Jenderal, pemerintahan propinsi (Gewest) dijalankan oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh Residen (afdeling), asisten residen (onderafdeling), Controleur atau Gesaghabber, raja, Hamente, kepala kampung . Di Flores Timur pada masa Belanda memiliki 16 Hamente (Larantuka, Muda Kaputu, Wolo, Lewotala, Lewoingu, Lewotobi, Lewolwin, Pamakayo, Lamakera, Lohayong, Horohura, Kiwangona, Tanah Boleng, Lamalera, Lewolwba, dan Lebala.

2.3. Masa Jepang
Jepang masuk ke wilayah Indonesia termasuk wilayah Flores Timur (Larantuka) tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang pemerintahan Swapraja dan susunan pemerintahan sampai ke tingkat desa tetap diakui hanya diganti namanya ke dalam bahasa Jepang. Wilayah pemerintahan di Flores Timur pada masa kekuasaan Jepang disebut Thobu Flores-Solor berpusat di Larantuka. Pemerintahan bentukan Jepang  diperintah oleh seorang Bunkenkan Riken  bernama Ikata dan wakilnya bernama Kayaganawa. Bukenkan Riken dibantu Len Laku yang dipilih dari penduduk pribumi, yang bertugas mengkoordinir daerah dalam wilayah Thobu Flores- Solor yang berkedudukan di Adonara dan Hadakewa. Pimpinan Swapraja disebut Sico, yang dipegang oleh raja Don Lorenso DVG III. Kakang disebut Gunco, sedangkan Kepala Kampung disebut Sonco.
Masa kekuasaan Jepang memang cukup singkat kalau dibandingkan dengan bangsa Belanda, namun pengaruh Jepang cukup besar terutama dalam bidang pendidikan. Pada waktu itu dunia pendidikan mulai terbuka secara perlahan-lahan. Di sekolah-sekolah diajarkan bahasa Jepang. Mata pelajaran yang diutamakan adalah olahraga (Taiso), yang bertujuan untuk menempa fisik dan mental murid-murid supaya berjiwa militer. Dalam bidang ekonomi Jepang memperkenalkan sistem perkoperasian yang disebut Kumiai.
Kekuasaan Jepang hanya berlangsung selama tiga setengah tahun karena Jepang kalah dari Sekutu dalam perng dunia kedua. Jepang  kalah tanpa syarat setelah Amerika kembali membalas atas pemboman Jepang di Pelharbour, maka pada  pada tanggal 6 dan 9 Agustu 1945 Amerika kembali membom kota Nagasaki dan Hirosima. Peristiwa pembalasan ini membuat Jepang tidak berdaya sama sekali, sehingga pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

3. Don Lorenzo II   Dan Kekuasaan Belanda Di Kerajaan Larantuka
Don Lorenzo Diaz Viera de Godinho/DVG II  atau biasa disapa dengan nama raja Usi/Usi Neno adalah anak dari raja Don Gaspar Diaz Viera de Godinho/DVG. Ketika ayahnya meninggal pada tanggal 31 Maret 1861 takta kerajaan sesungguhnya harus  diaserahkan kepada putranya Don Lorenzo DVG II, namun ia belum dewasa. Melihat kondisi ini, maka atas pertimbangan dewan penasehat kerajaan dalam hal ini Pou Suku Lema sehingga makota kerajaan sementara diserahkan kepada saudara sepupunya Don Dominggo Diaz Viera de Godinho/DVG atau raja Ence. Don Dominggo DVG menjabat sebagai raja antar waktu sambil mendampingi Putra Makota kerajaan Larantuka selama kurang lebih 2 (dua) tahun yaitu dari tanggal 24 Januari 1887 sampai dengan tanggal 22 Maret 1889. Dua tahun kemudian makota kerajaan kembali diserahkan kepada Don Lorenzo DVG II/raja Usi Neno. Karena Putra makota sudah cukup dewasa. Peristiwa penyerahan mahkota kerajan berjalan dengan aman dan damai, kendatipun di kalah itu hanya diikat dengan suatu perjanjian/pernyataan lisan  dihadapan dewan adat (IPou Suku Lema).
Pada tanggal 14 September 1889 Don Lorenzo Diaz Viera de Godinho/raja Usi Neno dilantik menjadi raja Larantuka. Raja ini banyak berjasa dalam memajukan karya misi di Larantuka. Tetapi pada saat itu Ia dihadapkan pada masalah berat, yaitu  Pertama pihak Belanda ingin menguasai wilayah kekuasaan  kerajaan Larantuka. Artinya raja Larantuka harus tunduk dan takluk kepada kekuasaan Belanda.  Kedua, Daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan bawahan secara perlahan-lahan mulai memisahkan diri dari kerajaan pusat, dan berusaha menjalin hubungan kerjasama dengan pihak kolonial Belanda.  
Sebagai akibat dari kedua masalah tersebut di atas, maka Kiwang Ona, yang adalah salah satu wilayah perkampungan di Adonara yang masih termasuk dalam lingkungan kekuasaan kerajaan Larantuka diserang oleh salah satu kerajaan yang bercorak Islam di Adonara. Namun Kiwang Ona dapat mempertahankan dirinya dengan tanpa meminta bala bantuan dari pihak lain termasuk pihak colonial Belanda. Nmun peristiwa penyerangan ini mendapat reaksi negative dari Residen Vijzelaar. Dengan peristiwa ini Residen Vijzelaar memberikan hukuman atau saknsi berupa denda atas peristiwa  itu kepada pihak yang menyerang dengan membayar 4000 gulden kepada Kiwang Ona. Kerajaan Adonara dengan tegas menolak pembayaran denda itu.  Penolakan denda ini diterima oleh pihak Belanda, akibatnya Kiwang Ona yang merasa dirugikan memberontak. Belanda tidak bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya jalan yang harus ditempu oleh pihak Belanda yaitu menugaskan Raja Don Lorenzo Diaz Viera de Godinho II untuk mengamankan situasi yang sementara berkecamuk di Kiwang Ona.
Penugasan ini diterima oleh Raja Don Lorenzo Diaz Viera de Godinho II. Dengan cara yang santun sebagai seorang pemimpin karismatik. Dengan ini ia  berhasil memadamkan peristiwa penyerangan antara Kiwang Ona dan kerajaan Adonara dengan tanpa kekerasan (dengan cara damai). Cara yang digunakan ini menurut Belanda tidak tepat. Yang tepat menurut kolonial Belanda yaitu harus menggunakan kekerasan (mengangkat sejanta) untuk berperang. Hal ini tentu membuat Raja Don Lorenzo Diaz Viera de Godinho II merasah bingung dan rasa tidak percaya kepada pihak Belanda semakin tinggi. Tapi inilah liciknya kaum penjajah dalam hal Belanda untuk mengadu domba kepada pihak-pihak yang bertikai.  Sebab seting politik adu domba (devide et impera) bertujuan untuk memecah belah wilayah-wilayah yang menjadi incaran Belada, agar Belanda dengan mudah menguasai wilayah-wilayah dimaksud. Dan yang pastinya setelah itu, kolonial Belanda membuat berbagai macam perjanjian untuk melegalkan kekuasaan dan menguntungkan pihaknya. Kolonial Belanda selalu berusaha mendampingi  “yang terkalahkan, yang berada dalam tahanan, dan yang dimusuhi masyarakat”, tetapi bukan mendampingi yang miskin, yang melarat, dan yang bodoh.  Betapa tidak, kolonial Belanda datang bukan mengangkat yang terhempas dan merajut yang bertikai. Malahan menambah beban penderitaan  orang pribumi. Banyak harta dan kekayaan dikeruk habis oleh kolonial untuk kejayaan negerinya.
Dalam situasi seperti yang digambarkan di atas, juga tahun  1900, kerajaan Larantuka harus mengadapi lagi dengan pemberontakan dari kerajaan Pamakayo, yang dipimpin oleh Ola Diaz. Ia adalah salah seorang yang berasal dari keluarga besar raja Ola. Kerajaan Pamakayo di kala itu sudah dipengaruhi oleh kolonial Belanda. Pemberontakan  Pamakayo dilatari oleh ketidakpuasan kerajaan bawahan terhadap kebijakan raja Larantuka. Sehingga kerajaan Pamakayo berusaha untuk memisahkan diri dari kerajaan Larantuka. Namun pemberontakan ini dapat digagalkan oleh kerajaan Larantuka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat dapat dipadamkan oleh kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja Don Lorenzo DVG II. Akibatnya pemimpin pemberontakan berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati atas diri Ola Diaz. Hukuman mati yang dilakukan yaitu dengan cara menenggelamkan Ola Diaz kelaut. Mendengar peristiwa hukuman yang dijatuhkan pada Ola Diaz, maka muncul reaksi dari pihak Belanda terutama oleh residen yang berkedudukan di Kupang. Residen menyatakan tidak setuju dengan hukuman yang dijatuhkan atas diri Ola Diaz oleh raja Don Lorenso DVG II.  Meskipun dalam kasus ini Don Lorenso  DVG II menjalankan hak dan wewenangnya sebagai raja yang berdaulat atas rakyatnya.
Popularitas raja Don Lorenzo DVG II di mata masyarakat Kerajaan Larantuka cukup baik, namun menurut Belanda sangat berbahaya baginya terutama dalam pengembangan politik ekspasi wilayah kekuasaan dan proses pengiriman ekspedisi ke wilayah Flores Timur. Ketakutan Belanda atas tindakan raja Don Lorenzo DVG II ini, maka pada  tangal 1 Juni 1904 residen Kupang Hecler dan Controleur Helwing serta didampingi oleh 100 orang Prajurit Belanda tiba di Larantuka dengan kapal putihnya. Tujuan kedatangan mereka yaitu untuk  menawan raja Don Lorenso DVG II.  Dengan dalil mengundang Don Lorenzo DVG II karena suatu urusan penting. Tanpa ada rasa kecurigaan macam-macam Don Lorenzo DVG II turut menumpangi kapal Pelikan bersama rombongan yang dipimpin oleh residen Hecler menuju Kupang. Dari Kupang Don Larenso DVG II dibawah ke Batavia, kemudian mendapat hukuman buangan ke  Yokyakarta, hingga beliau meninggal dan di makamkan di Yokyakarta tahun 1910.
Peristiwa penangkapan atas raja Don Lorenzo DVG II rakyat Larantuka merasa telah ditipu oleh Belanda, maka mendatangkan reaksi dari rakyat. Wujud nyata reaksi rakyat Larantuka yaitu mereka menyatakan tidak mau bersabahat dengan Belanda. Akibatnya dalam tahun selanjutnya muncullah perlawanan-perlawanan dan reasi yang datang dari para misionaris dengan menuliskan surat pembelaan kepada residen, yang menerangkan bahwa suku kafir di pedalaman sangat setia kepada Don Lerenso, dan orang Kristen sangat menghormatinya. Tindakan terhadap raja itu sangat membahayakan keamanan, serta karya misi seluruhnya. Jawaban residen sangat keras bawah keselamatan misi ada ditangan misi dan jangan campur urusan pemeritah.
Setelah Don Lorenso di tahan, residen mengangkat Lois Blantrang de Rozari sebagai raja sementara selama putra Don Lorenso DVG masih berada dibawah usia dewasa. Raja Lois memerintah dari 1 Juli 1904 sampai 17 Januari 1912. pada tahun ke dua 1905 terjadi perlawanan Lewoklouk, yang tidak menyetujui pengangkatan raja Lois sebagai pengganti raja Don Lorenso, yang di tandai dengan menolak membayar upeti kepada raja. Sikap ini di anggap sebagai pembangkangan. Raja menuntut pemulihan nama baik berupa 20 batang gading. Penduduk bersedia namun informasi yang disampaikan oleh kurir yang bernama Ratu Openg justru sebaliknya. Sidang dewan raja, (Pou Suku Lema) memutuskan untuk menghukum rakyat Lewoklouk. Belanda membantu raja dengan perlengkapan senjata.
Setelah raja ini meninggal terjadi kekosongan pemerintahan sehingga pimpinan kerajaan dipegang oleh sutu dewan adat yaitu Triumvirat: Payong Blantrang de Rozari, Emanuel Monteiro, Yohanes Blantrang de Rozari.

5.  Akhir Dari Pemerintahan Kerajaan Larantuka
Sistem pemerintahan Swapraja yang dibentuk oleh Belanda berkembang terus hingga Jepang masuk tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang pemerintahan Swapraja,  susunan pemerintahan dan wilayah pemerintahan mulai dari pusat sampai ke tingkat desa tetap diakui (hanya diganti istilah atau nama ke dalam bahasa Jepang). Wilayah pemerintahan di Flores Timur  disebut Thobu Flores, berpusat di Larantuka yang diperintah oleh seorang Bunkenkan Riken Jepang bernama Ikata dan wakilnya Kayaganawa. Bukenkan riken dibantu Len Laku In di pilih dari penduduk pribumi. Tugasnya mengkoordinir daerah dalam wilayah Thobu Flores, Solor,  Adonara dan Hadakewa. Raja yang mengepalai swapraja disebut Sico yang dipegang oleh Don Lorenso DVG III, kakang disebut Gunco dan Sonco untuk kepala kampung. Selain itu dalam bidang pendidikan Jepang berusaha untuk mempengaruhi sistem pendidikan yang sementara berlaku, di mana di setiap sekolah diajarkan bahasa Jepang. Dan mata pelajaran yang diutamakan adalah olah raga yang disebut Taiso, tujuan utamanya  adalah menempa fisik dan mental murid-murid supaya berjiwa militer.
Sistem pemerintahan Jepang berlangsung hingga akhir pendudukan Jepang. Setelah Jepang kalah dari Sekutu dalam perang dunia II, pada tanggal 15 Agustus 1945, akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Sehubungan dengan peristiwa penyerahan Jepang kepada sekutu, maka  pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Berita mengenai kemerdekaan untuk wilayah Larantuka datangnya terlambat. Orang Larantuka baru mengetahui setelah Buntenkan Rikan diperintah untuk mengibarkan bandera merah putih di setiap kantor.
Pada tanggal 29 September 1945 datanglah tentara sekutu diwakili oleh Inggris. Tujuan kedatangan tentara sekutu untuk melucuti senjata Jepang, mengembalikan tawanan perang, dan menjaga keamanan. Namun kedatang Sekutu ini diikuti oleh pemerintah Belanada lengkap dengan kekuatan militernya untuk kembali menguasai wilayah Indonesia termasuk wilayah Larantuka. Hal ini sesuai dengan isi perjanjian pada tanggal 24 Agustus 1945 antara kerajaan Inggris dengan Belanda yaitu mengambil over kekuasaan Jepang dan membentuk pemerintahan sipil militer sekutu. Pemerintah yang dibentuk langsung ditangani oleh Belanda  yang lazimnya disebut Nederlands Indise Civil Administration ( NICA ). Hal ini berarti Belanda kembali menegakan sistem pemerintahannya di Indonesia, yaitu sistim pemerintahan Swapraja. Sistem pemerintahan swapraja berlaku sampai dengan peristiwa pengakuan kedaulatan atas wilayah RI. Peristiwa pengakuan kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia terjadi pada tanggal 27 Desember 1949 oleh pemerintahan Belanda. Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai UU.No.7 Tahun 1950.
Sesuai UU. N.I.T. Tahun 1950 No. 44 Pasal 34  bahwa federasi Swaparaja yang dulu diberi status daerah yang berhak mengurus rumah tangga sendiri dan dengan sendirinya masing-masing Swapraja, yang ada dalam suatu daerah merupakan bagian dari daerah (Koten 1973:85). Dengan demikian fungsi kepala pemerintahan negeri, berubah menjadi kepala pemerintah setempat (KPS). Kepala pemerintah setempat Larantuka Don Lorenso DVG III dalam menjalankan roda pemerintahan Swapraja Larantuka dibantu oleh dewan pemerintahan daerah Swapraja ( DPS ). Untuk pertama kalinya, terpilih Ph. da Silva dan Bernabas Sabon dipilih menjadi angora dewan pemerintahan Swapraja.
Dengan berlakunya UU. No. 1 Tahun 1957 Tentang pokok-pokok pemerintahan daerah ditetapkan menjadi kepala pemerinthan Swapraja adalah seorang kepala Swapraja dibantu oleh pemerintah harian Swapraja. Kepala pemerintahan daerah pada waktu itu dijabat oleh Johakim Bl da Rozari dan badan pemerintahan harian Swapraja dikoordinasi oleh  P.S. Korebima, P.S. Hajon, P. Reo de Ornay, dan E.D. Faah.
Pada tahun 1958 dikeluarkan UU. No. 64 Tahun 1958. Undang-undang ini berisi pembentukan daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur dibentuk, maka pada tahun 1959 dikeluarkan UU nomor 69 tahun 1959 yang memberikan otonomi bagi setiap daerah Tingkat I dan II. Daerah Tingkat I Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki sebanyak 12 Daerah Tingkat II termasuk daerah Tingkat II Flores Timur yang meliputi bekas wilayah Swapraja Larantuka dan wilayah bekas Swapraja Adonara. Wilayah kabupaten Flores Timur meliputi Flores Timur daratan, Pulau Solor, Pulau Adonara, dan Pulau Lembata. Otonomi daerah tingkat II se-provnsi NTT secara tegas dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur tertanggal 15 Desember 1960 No. 18/Des. 65/2/23 terhitung tangal 1 Januari 1961, anggaran belanja daerah dari Swapraja-Swapraja di Nusa Tenggara Timur dicabut dan dimasukan dalam anggaran belanja daerah-daerah tingakat II. Akhirnya secara yuridis formal sejak pada tanggal 1 September  1965 dikeluarkan  UU nomor 18 tahun 1965 tentang penghapusan swapraja-swapraja di Nusa Tenggara Timur.